Tuesday, May 31, 2016

Pengalaman Bersama BNI

                                               Peran serta BNI pada lingkungan dan sosial 

Abstract

The problems examined in this study: first, What is the legal analysis of the application of the concept of bank lending in order to conserve environmentally sound living environment? second, setting How the concept of bank lending environmentally sound? Third, what are the factors that become obstacles for Banking in Medan to applying the concept of providing environmentally sound banking credit in the framework of environmental conservation as a solution to achieve the goal of sustainable economic activity? This study uses normative legal research methods and approach legislation. The results showed that: First, that the application of the concept of providing environmentally sound banking credit in Banking in Medan has not been done properly. Second, the concept of setting up bank loans with environmental needs specifically regulated in the Banking Act. Thirdly, there are several barriers for banks in the city of Medan on the application of the concept of bank loans in the framework of environmentally sound environmental conservation as a solution to achieve the goal of sustainable economic activity.

Keywords: Banking Lending The Environmental, Sustainable Development, Banking  
                  Law.

Pendahuluan
    Selama ini perbankan di Indonesia pada umumnya dan di Kota Medan, Sumatera Utara pada khususnya dalam pemberian kredit kepada Nasabah Debitur kurang memperhatikan aspek lingkungan atau tidak berwawasan lingkungan, terutama pemberian kredit kepada Nasabah Debitur yang akan melakukan rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup maupun kepada Nasabah Debitur yang sudah melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan pentingan terhadap lingkungan hidup.
      Memang saat ini belum ada pengaturan hukum yang tegas terhadap perbankan agar dalam pemberian kredit harus memperhatikan aspek lingkungan atau berwawasan lingkungan, maka wajar saja perbankan kurang memperhatikan  aspek lingkungan atau berwawasan lingkungan dalam pemberian kredit kepada Nasabah Debitur.
      Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pada bagian Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 8 hanya menyebutkan pihak perbankan yang akan memberikan kredit kepada Nasabah Debitur harus memperhatikan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), akan tetapi ketentuan tersebut tidak dilanjutkan dengan pengaturan yang tegas dalamUndang-Undang Perbankan (Pasal demi Pasal). Namun, secara implisit Undang-Undang Perbankan telah mencanangkan suatu konsep pemberian kredit yang berwawasan lingkungan.
      Dampak yang ditimbulkan akibat adanya pemberian kredit yang kurang memperhatikan aspek lingkungan atau berwawasan lingkungan telah banyak menimbulkan kerusakan dan tercemarnya lingkungan hidup di sekitar usaha dan/atau kegiatan dari Nasabah Debitur, seperti sungai, pengairan (irigasi), tanah pertanian masyarakat setempat yang terdapat dalam wilayah Sumatera Utara.
      Nasabah Debitur yang melakukan usaha dan/atau kegiatan akan menuai protes dari masyarakat setempat, dituntut ganti rugi oleh masyarakat setempat, bahkan kemungkinan usaha dan/atau kegiatan ditutup oleh Pemerintah Daerah setempat, sehingga dengan demikian usaha dan/atau kegiatan Nasabah Debitur menjadi terganggu produktivitasnya dan tidak tercapai tujuan kegiatan ekonomi berkelanjutan (sustainable economic activity), yang pada akhirnya Nasabah Debitur akan mengalami kesulitan dalam pembayaran hutang kepada Bank.
      Dengan berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan terakhir diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup[1] dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan[2] juga Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah[3] serta penerimaan agunan berupa properti nasabah debitur oleh bank, maka ada 3 alasan mengapa bank harus menempuh kebijakan perkreditan yang berwawasan lingkungan.
Alasan yang pertama, adalah yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UULH. Menurut Pasal 6 ayat (1) UULH tersebut bahwa setiap orang bukan saja mempunyai hak tetapi juga mempunyai kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (1) undang-undang tersebut bahwa yang dimaksudkan dengan “setiap orang” pada Pasal 6 ayat (1) itu (seperti juga dimaksudkan pada Pasal 5 dan pasal-pasal yang lain) adalah “orang seorang”, “kelompok orang”, atau “badan hukum”. Maka bank sebagai badan hukum[4] mempunyai kewajiban pula berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.
Alasan kedua, ialah karena bank perlu melindungi dirinya dan kredit yang diberikannya sehubungan dengan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 22 UULH tersebut dihubungkan dengan Pasal 6 huruf k. dan Pasal 7 huruf c. Undang-Undang Perbankan 1992 serta klausul-klausul dalam perjanjian kredit tentang kewenangan bank dalam rangka pengawasan, pengamanan dan penyelamatan kredit.[5]
Alasan ketiga mengapa kebijakan perkreditan bank-bank di Indonesia harus merupakan yang berwawasan lingkungan adalah sehubungan dengan risiko lain yang mungkin dihadapi oleh bank, yaitu sekalipun apabila properti yang menjadi agunan tidak tercemar, tetapi apabila properti lain milik nasabah debitur tercemar, maka kredit bank dapat pula berada dalam bahaya.
      Selanjutnya Sutan Remy Sjahdeini berpendapat, secara tidak langsung besar sekali andil bank dalam pencemaran lingkungan melalui pemberian kredit[6] maupun pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.[7] Lama sebelum bank-bank mulai menerapkan AMDAL dalam penilaian kredit, yaitu sebagai pelaksanaan Surat Edaran Bank Indonesia No. 21/9/UKU tanggal 25 Maret 1989 perihal “Kredit Investasi dan Penyertaan Modal”, telah bertriliun-triliun rupiah jumlah kredit dikeluarkan oleh perbankan untuk membiayai proyek-proyek yang tentu saja tidak diberikan berdasarkan kebijakan perkreditan yang berwawasan lingkungan hidup.
      Mengingat di dalam Undang-Undang Perbankan tidak ada pengaturan yang tegas mengenai pemberian kredit dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus memperhatikan aspek lingkungan atau berwawasan lingkungan, maka perlu diterapkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan pelaksanaannya terhadap kegiatan pemberian kredit dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang merupakan salah satu kegiatan usaha dari kalangan Perbankan kepada sektor Industri.
      Regulasi atau UU Lingkungan Hidup harus diimplementasikan, sebab apa yang dikatakan Menteri Perindustrian, Mohamad Suleman Hidayat, adalah delapan sektor industri yang menyumbang emisi karbon dalam jumlah besar, di antaranya industri semen, industri baja, industri pulp dan kertas, industri tekstil, keramik, pupuk, petrokimia dan industri makanan dan minuman tertentu.[8]
      Timbul pertanyaan, apakah delapan sektor industri di atas untuk menjalankan kegiatannya dan/atau usahanya tidak menggunakan dana dari kalangan Perbankan (Konvensional atau Prinsip Syariah) ? Jawabannya, sudah dapat dipastikan bahwa industri-industri tersebut menggunakan dana dari kalangan Perbankan dalam bentuk kredit/pembiayaan Investasi dan/atau kredit/pembiayaan Modal Kerja.
      Kemungkinan bank tersangkut dalam kasus pencemaran, lebih banyak karena kekuranghati-hatian, yang akan menimbulkan apa yang disebut dalam hukum pidana “kealpaan”.[9]
      D. Simmons, menerangkan : umumnya kealpaan itu terjadinya terdiri dari dua bagian, yaitu tak berhati-hati melakukan sesuatu perbuatan, di samping dapat menduga akibat perbuatan itu. Tetapi meskipun sesuatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan, jika yang berbuat itu telah mengetahui, bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang. Kealpaan ialah oleh karena melakukan perbuatan itu, meskipun telah mengetahui akibatnya. Dalam hal terakhir dalam sementara itu hanya dapat dianggap adanya tanggung jawab tentang kealpaan itu, kalau untuk melakukan perbuatan itu tak ada alasan yang patut dan yang dibuat tidak hanya menghindarkan akibat itu melainkan bagaimanapun juga harus mengelakkannya.[10]
      Disamping itu, menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam Bab V Pasal 74, disebutkan setiap Perseroan Terbatas diwajibkan melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility/CSR), maka oleh karena itu suatu Bank yang pada umumnya berbadan hukum (rechtpersoon) Perseroan Terbatas (PT) tidak dapat terlepas dari Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan  tersebut.
      Dalam pengertian sempit CSR (Corporate Social Responsibility) adalah tanggung jawab sosial perusahaan terhadap para pemangku kepentingan (stakeholders) baik ke dalam (internal) maupun keluar (eksternal). Sementara itu dalam pengertian yang luas CSR (Corporate Social Responsibility) berkaitan erat dengan tujuan mencapai kegiatan ekonomi berkelanjutan (sustainable economic activity). Keberlanjutan kegiatan ekonomi bukan hanya terkait soal tanggung jawab (responsibility) sosial tetapi juga menyangkut akuntabilitas (accountability) perusahaan terhadap masyarakat, bangsa, dan dunia internasional.[11]
      Untuk mengetahui, apakah kalangan Perbankan di Kota Medan telah menerapkan konsep  “Pemberian Kredit Yang Berwawasan Lingkungan” ini dalam rangka pelestarian lingkungan hidup sebagai solusi untuk mencapai tujuan kegiatan ekonomi berkelanjutan, maka penulis mencoba melakukan penelitian ini.     
           

Perumusan Masalah

      Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi isu hukum dalam penelitian ini sebagai berikut:
·  Bagaimanakah analisis hukum mengenai penerapan konsep Pemberian Kredit Perbankan Yang Berwawasan Lingkungan dalam rangka Pelestarian Lingkungan Hidup ?
·      Bagaimanakah pengaturan  konsep Pemberian Kredit Perbankan Yang Berwawasan Lingkungan ?
· Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi hambatan bagi Perbankan di Kota Medan terhadap penerapan konsep Pemberian Kredit Perbankan Yang Berwawasan Lingkungan dalam rangka Pelestarian Lingkungan Hidup sebagai solusi untuk mencapai tujuan kegiatan ekonomi berkelanjutan ?

Metode Penelitian
      Metode penelitian yang digunakan dalam rangka menjawab rumusan masalah dalam kajian ini adalah metode penelitian hukum normatif (normative legal research). Penelitian hukum normatif dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan, mempelajari dan menganalisis berbagai bahan hukum baik bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier yang relevan. Data hasil penelitian kemudian akan disajikan secara kualitatif berdasarkan relevansinya terhadap rumusan masalah.[12]

Hasil Penelitian dan Pembahasan

A.    Analisa Hukum Mengenai Konsep Pemberian Kredit Perbankan yang Berwawasan Lingkungan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai landasan konstitusional bagi penyelenggaraan pemerintah dalam Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dkuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal yang sama dipertegas lagi pada tahun 1982, dimana Indonesia untuk pertama kalinya mengundangkan suatu undang-undang yang sangat penting mengenai pengelolaan lingkungan hidup, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya Undang-undang ini telah diganti dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan kemudian kembali diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPPLH). Kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup dalam setiap GBHN dan diundangkannya UUPPLH tersebut merupakan tanggapan (response) pemerintah dan bangsa Indonesia terhadap hasil “United Nations Conference on the Human Environment” yang diselenggarakan tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm.[13]
Apabila sumber hukum dan perundangan utama perbankan ialah Undang-undang No. 10 Tahun 1998, dan sumber hukum dan perundangan utama dari lingkungan hidup ialah Undang-undang No. 23. Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, maka sumber hukum dan perundangan utama dari hukum perjanjian banyak ditentukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH. Perdata). Perbankan perlu beradaptasi secara interdepedensial dengan lingkungan, dalam hal ini dikenal dengan istilah green banking, sebagai cara untuk memenangkan persaingan pasar sekaligus turut melestarikan lingkungan, karena perbankan tidak bisa hidup tanpa lingkungan yang memadai. Ini tercermin dari aspek iklim usaha yang baik maupun lingkungan hidup yang lestari. Pembiayaan proyek pada bank yang berwawasan lingkungan (green banking) telah terbukti dapat meningkatkan daya saing dan memberi keunggulan tersendiri dalam strategi bisnis.
Dalam hal pemberian kredit, bank dituntut agar dapat memperoleh keyakinan tentang kemampuan nasabah sebelum menyalurkan kreditnya, maka faktor melakukan penilaian secara cermat dan seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha, debitur wajib meyakinkan bank. Undang-undang Perbankan ini secara implisit menentukan bahwa pemberian kredit harus memiliki jaminan cukup dan menyandarkan diri pada keyakinan atau kemampuan dan kesanggupan dari debitur untuk melunasi hutangnya. Terdapat suatu ilustrasi mengenai keterkaitan dunia usaha dengan lingkungan hidup, yakni:
“Suatu badan usaha mendapatkan fasilitas kredit di bank pelaksana, untuk ini bank telah melakukan evaluasi yang mendalam tentang karakternya, kemampuannya, modalnya, agunannya, dan kondisi serta prospek usaha dan/atau kegiatan badan usaha yang bersangkutan.”[14]
Dalam hubungan inilah Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan perturan lingkungan hidup lainnya dapat diberlakukan, yaitu suatu usaha dan/atau kegiatan dalam opersionalnya harus selalu mengindahkan UUPPLH serta peraturan lingkungan hidup lainnya. Ada beberapa ketentuan dalam UUPPLH yang dapat dijadikan landasan bagi peran dan tanggung jawab bank dalam pelaksanaan green banking dalam hukum perkreditan di Indonesia, antara lain Pasal 22, Pasal 36, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68.
Disamping itu dapat pula diambil kebijakan perbankan, dimana Bank Indonesia yang berkewajiban menunjang kebijakan tersebut sebagai otoritas moneter yang antara lain bertugas mengatur dan mengawasi bank sebagaimana hal itu ditentukan dalam Pasal 8 huruf c Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004. Bank memiliki peranan sebagai penghimpun dana dari masyarakat untuk modal pembangunan. Sebagai lembaga keuangan, Bank memiliki usaha pokok, yaitu memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Pemberian kredit merupakan salah satu bagian yang penting dalam kehidupan perbankan, sebab bank dapat hidup dari usaha penyaluran dan berupa pemberian kredit tersebut.
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional, bank perlu terus ditingkatkan dan diperluas peranannya, sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal. Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan nasional tersebut dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ditentukan bahwa:    “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.”
Ketentuan di atas jelas bahwa lembaga perbankan mempunyai peranan penting dan strategis tidak saja dalam menggerakkan roda perekonomian nasional, tetapi juga diarahkan agar mampu menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Ini berarti bahwa lembaga perbankan haruslah mampu berperan sebagai agent of development dalam upaya mencapai tujuan nasional tadi,[15] termasuk melalui upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui pola green banking.

1. Penerapan Green Banking dalam Hukum Perkreditan
      Pemberian kredit oleh perbankan dapat merupakan suatu masalah bila kredit itu dipergunakan untuk usaha ataupun kegiatan yang pada akhirnya menimbulkan atau mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal ini seharusnya badan-badan atau lembaga-lembaga keuangan yang memberikan kredit dapat digerakkan untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, karena perusahaan yang ingin berkembang tergantung pada fasilitas kredit. Sebagai salah satu pemberi dana, Bank tidak saja hanya melihat pertimbangan ekonomisnya, tetapi juga keterpaduan dengan lingkungannya. Dengan demikian perbankan tidak ikut membiayai proyek-proyek yang diperkirakan akan dapat menimbulkan dampak yang merugikan ekosistem. Pada sistem perbankan, dengan pertimbangan faktor-faktor keseimbangan lingkungan akan mengeliminisasikan resiko-resiko dalam pemberian kreditnya kepada nasabah debitur.
      Dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), untuk menentukan suatu kegiatan yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup ditentukan oleh :
a. Jumlah manusia yang akan terkena dampak;
b. Luas wilayah persebaran dampak;
c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak;
e. Sifat kumulatif dampak tersebut;
f. Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak;
g. Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
      Berkaitan dengan hal tersebut di atas, sektor perbankan dalam membiayai proyek industri secara umum dapat mengkaji hal-hal sebagai berikut :
a.  ada hal-hal yang berbahaya terhadap kesehatan yang berkaitan dengan proses industrinya;
b.   akan terjadi gangguan yang cukup berarti terhadap masyarakat;
c.   ada potensi konflik dengan kepentingan lainnya;
d. perlunya penambahan pembangunan infrastruktur termasuk transport dan pembangkit tenaga listrik yang ada;
e. proyek industri sudah memiliki instalasi pengolahan limbah atau belum Keseluruhan itu perlu dikaji karena sektor perbankan yang berfungsi sebagai intermediary dalam pembangunan telah melakukan mobilisasi dana masyarakat dan menyalurkan dana tersebut antara lain berupa pembiayaan kredit pada industri-industri dalam proses pembangunannya. Penjabaran pelaksanaan wawasan tersebut tercermin pada Pasal 22 ayat (1) UUPPLH.
Sikap tanggap perbankan Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam UU Perbankan dalam penjelasan umumnya terdapat kalimat sebagai berikut : “Prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh sedangkan ketentuan mengenai kegiatan usaha bank perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana termasuk di dalamnya peningkatan peranan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar dan atau beresiko tinggi.” Selanjutnya dalam penjelasan umum angka 5 pada Pasal 8 ayat (1) dikatakan : “Disamping itu bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau beresiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.”
      Dari penjelasan di atas ternyata undang-undang Perbankan secara eksplisit telah mencantumkan kewajiban perbankan di Indonesia untuk melaksanakan perbankan hijau (Green Banking) dan hal ini sesuai dengan gerak langkah yang dibutuhkan perbankan nasional untuk berperan serta dan bertanggungjawab dalam pelestarian fungsi lingkungan guna melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan seperti yang diamanatkan dalam propenas Tahun 2000-2004 dan menjadi semakin jelas. Dengan mengesampingkan aspek lingkungan justru dapat mengakibatkan resiko menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat. Fungsi utama perbankan sebagaimana telah diungkapkan adalah penghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya pada masyarakat.
      Dalam kegiatan operasionalnya disamping harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomis, juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain yaitu masalah lingkungan hidup. Kegiatan operasional perbankan tersebut yang terutama berkaitan dengan pemberian kredit kepada nasabahnya. Bank (kreditur) dalam memberikan kredit kepada debitur selalu memakai perjanjian kredit, dalam arti dibuat secara tertulis (kontrak). Meskipun secara tegas Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan tidak mengatur bahwa setiap transaksi kredit harus memakai perjanjian tertulis. Menurut isi Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat oleh para pihak bersangkutan (debitur dan kreditur) merupakan hukum positif bagi yang bersangkutan, dimana untuk sahnya perjanjian harus memenuhi syarat materiel dan formal. Salah satu manifestasi dari isi Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian kredit sering disebutkan sebagai kebebasan berkontrak; artinya apa yang akan dicantumkan dalam perjanjian kredit diserahkan kepada para pihak. Namun demikian, meskipun isi perjanjian kredit diserahkan kepada para pihak yang bersangkutan atau dirundingkan, ternyata pada prakteknya isi perjanjian kredit lebih banyak ditentukan oleh bank sendiri, artinya debitur tidak diberi kesempatan untuk turut serta merundingkan isi perjanjian tersebut.
      Dari substansi perjanjian kredit tersebut diatas dapat dikatakan bahwa kedudukan bank (kreditur) lebih kuat dibanding debitur, sehingga pihak bank dapat memaksakan kepada debitur agar menurut dan mematuhi dengan apa yang sudah ditentukan oleh pihak bank sebelumnya. Hal ini dilakukan agar kepentingan bank tetap terlindungi, dan bank tidak dirugikan seandainya terjadi wanprestasi dari pihak debitur dikemudian hari. Oleh karena pihak bank secara ekonomis berada pada pihak yang kuat, maka “kekuatan” yang dimiliki oleh bank dapat dipergunakan untuk memaksakan kepada pihak debitur dalam membuat perjanjian kredit dengan memasukkan klausula-klausula pencegahan pencemaran lingkungan hidup yang harus dilakukan oleh debitur dalam menjalankan usahanya atau secara umum dimasukkan klausul-klausul lingkungan hidup (environmental provisions).
      Pencantuman klausul pencegahan pencemaran lingkungan hidup bukan hanya sekedar pelengkap isi perjanjian kredit, tetapi juga harus disertai dengan pihak instansi terkait yang mengawasi agar tidak terjadi pencemaran lingkungan hidup, artinya harus ada tindak lanjut dan kerjasama dengan pihak lain yang diberi tugas untuk mengawasi masalah lingkungan hidup, dengan kata lain bahwa klausul-klausul tersebut harus dilaksanakan/ditegakkan atau diterapkan sebagaimana mestinya, sesuai dengan maksud dan tujuan dicantumkannya klausul-klausul tersebut.
      Klausul-klausul apa saja yang harus ada dalam perjanjian kredit yang dicantumkan sebagai upaya mencegah terjadinya pencemaran lingkungan hidup dapat kita lihat di Amerika Serikat, dimana klausul-klausul yang harus ada dicantumkan dalam perjanjian kredit yang berkaitan dengan kewajiban debitur untuk memelihara lingkungan hidup antara lain :[16] Borrower promises to :
a. Pay for an initial and annual environmental audit that satisfies the requirements, as set fourth in the lender’s environmental policy, attached hereto as exhibit…., and;
b. Allow the bank and its agents access to the property for purposes of conducting environmental investigation,
      Secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai berikut :
a. Bersedia membayar biaya audit awal lingkungan dan tahunan yang memenuhi syarat terlampir, seperti yang tertera dalam kebijakan kreditur (pemberi pinjaman) tentang lingkungan, sebagai tanda jadi…., dan
b. Mengijinkan pihak bank dan agen-agennya untuk memasuki areal miliknya untuk kepentingan mengadakan pemeriksaan lingkungan.
      Selanjutnya perjanjian tersebut memuat covenant sebagai berikut :
Borrower promises to :
a. Comply with all environmental statutes and regulations;
b. Not handle toxic or hazardous substances without notice to the lender and compliance with applicable law;
c. Pay for clean up, if any, required by the state or federal environmental law or regulation; and
d. Immediately notify the lender of any environmental compliance problems.
      Secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai berikut :
a.  Mematuhi segala peraturan dan perundang-undangan lingkungan hidup;
b. Tidak berhubungan dengan zat-zat berbahaya ataupun beracun tanpa memenuhi standar kelayakan pakai dan sepengetahuan pihak kreditur;
c. Bersedia membayar biaya pembersihan, jika dikehendaki oleh undan-gundang atau peraturan-peraturan setempat;
d. Secepat mungkin memberitahu pihak kreditur jika terdapat masalah-masalah yang menyangkut lingkungan.
      Ketentuan-ketentuan lain yang dicantumkan dalam perjanjian kredit antara lain :[17]
Borrower hereby represents and warrant that :
a. All appropriate inquiry with regard to environmental matters has been conducted by borrower and has revealed that no hazardous substance is currently present on the site contains any Environmental Sensitive Areas.
b. No toxic or hazardouus substance or contaminants have been placed on the property by borrower.
c. Borrower is not currently and has not at any in the past violated any environmental law or regulation.
d. Borrower has never been cited by a state or federal environmental agency for a response action or violation of any kind.
e. Borrower is not and has never disposes of any hazardous substances or materials in violation of any environmental law or regulation.
f. Borrower is not and has never been transporter of any hazardous substances.
      Secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai berikut :
a. Segala pemeriksaan yang berkaitan dengan masalah lingkungan telah dilakukan oleh pihak debitur dan arealnya telah dinyatakan bebas dari zat-zat berbahaya serta tidak ada bagian-bagian yang merupakan daerah rawan gangguan lingkungan;
b. Tidak ditemui zat-zat berbahaya atau beracun di areal milik debitur;
c. Debitur tidak pernah melanggar segala peraturan atau undang-undang lingkungan dimasa yang lalu maupun sekarang;
d. Debitur tidak pernah disebut oleh lembaga lingkungan pemerintah setempat sebagai pelaku atas tindakan makar atau pelanggaran hukum atau semacamnya;
e. Debitur tidak pernah membuang segala macam zat atau benda berbahaya yang melanggar peraturan atau undang-undang lingkungan;
f. Debitur tidak pernah menyangkut segala macam zat yang berbahaya.
      Dalam penilaian bank, bidang usaha nasabah (debitur) yang mempunyai potensi untuk mencemarkan lingkungan hidup dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan kredit. Dengan alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan antara lain :
a. Jika perusahaan debitur mencemarkan lingkungan, ada kemungkinan usahanya ditutup oleh pemerintah, jika hal ini terjadi sudah tentu sangat merugikan bank, dan debitur ada kemungkinan tidak dapat mengembalikan pinjamannya (menghindari resiko).
b. Sebagai upaya keikutsertaan dalam pelestarian lingkungan hidup (green banking).
      Pencantuman klausul pencegahan pencemaran lingkungan hidup (green banking) dalam praktek perbankan terdapat dalam klausul affirmative covenants. Klausul ini adalah hal-hal yang diwajibkan terhitung sejak tanggal perjanjian sampai dengan dilunasinya kewajiban yang terutang oleh debitur kepada bank (kreditur) berdasarkan perjanjian kredit.[18]
      Hal ini terjadi karena sampai saat ini belum ada petunjuk dari instansi terkait (Bank Indonesia) untuk mengeluarkan petunjuk pelaksanaan pencantuman klausul pencegahan pencemaran lingkungan hidup dalam perjanjian kredit.[19] Guna mengarahkan kebijaksanaan perkreditan yang berwawasan lingkungan, contoh ketentuan yang harus diajukan kepada calon debitur dalam proses pemberian dan persetujuan kreditnya yaitu :[20]
a. AMDAL sebagai persyaratan perizinan atas setiap kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan/lingkungan hidup.
b. Keputusan persetujuan atas Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) sesuai dengan syarat-syarat.
c. Surat pernyataan lingkungan dari perusahaan/calon debitur.
d. Internal monitoring, yaitu kegiatan pemantauan yang dilakukan oleh perusahaan/debitur secara cermat keadaan fasilitas, pengoperasian dan pengaruh terhadap lingkungan serta melaporkannya secara berkala, baik kepada pemerintah maupun bank.
e. Inspection/trade checking, yaitu kegiatan pemantauan yang dilakukan oleh bank untuk melihat sejauh mana ketaatan dan pengoperasian serta pengaruh terhadap lingkungan. Oleh aparat perkreditan hal ini dilaporkan sebagai laporan hasil kunjungan debitur.

2. Peranan Bank untuk Pelaksanaan Green Banking dalam Hukum Perkreditan
      Lingkungan hidup secara ekologis tidak mengenal batas wilayah administratif, batas institusi, ataupun batas ras, suku, agama ataupun golongan. Termasuk di dalamnya dunia perbankan. Dalam rangka investasi untuk pendirian industri dilakukan studi kelayakan baik aspek ekonomi, teknik dan lingkungan. Meskipun dari sisi kelayakan ekonomi dan teknik telah terpenuhi, namun apabila kelayakan lingkungan tidak terpenuhi maka investor atau bank tidak akan mengucurkan dana bagi keperluan investasi. Terkait dengan hal dimaksud, Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/2/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang mengatur bahwa penilaian terhadap prospek usaha sebagai unsur kualitas kredit, meliputi penilaian terhadap upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Pada Pasal 10 mengenai Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian sebagai berikut :
a. prospek usaha ;
b. kinerja (performance) debitur; dan
c. kemampuan membayar.
      Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup.
      Peranan bank dalam penegakan hukum lingkungan sebagai salah satu lembaga yang berperan dalam kehidupan ekonomi tidak dapat terlepas dari kehidupan ekonomi itu sendiri. Keberadaan perbankan diperlukan untuk menunjang kelangsungan kegiatan ekonomi khususnya kegiatan yang bersifat transaksi pemberian kredit untuk sektor industri. Sebaliknya kegiatan operasional perbankan dipengaruhi pula oleh maju mundurnya suatu kegiatan ekonomi, misalnya sektor industri.
      Fungsi utama perbankan adalah menghimpun dana dari masyarakat dan penyalur dana masyarakat. Akan tetapi sektor perbankan dalam partisipasinya memberikan pembiayaan pembangunan tetap harus memperhatikan prinsip kehati-hatian, antara lain feasibility study, viability, serta profitability atas dasar repayment capacity. Tujuannya adalah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
      Pembiayaan proyek yang berwawasan lingkungan telah terbukti dapat meningkatkan daya saing dan memberi keunggulan tersendiri bagi bank-bank yang menerapkannya sebagai strategi bisnis. Dengan demikian, perbankan diharapkan dapat meningkatkan peran dan perhatian terhadap pembiayaan kepada proyek-proyek yang mempunyai perhatian terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup.[21]
      Usaha perbankan sesungguhnya tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan lingkungan, namun demikian Bank Indonesia dengan berbagai ketentuan dan peraturan yang dikeluarkannya, dapat mendorong peningkatan peran perbankan dalam meningkatkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup.[22] Apabila industri yang dibiayai oleh bank berjalan baik dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, maka hasil pendapatan bunga dari kredit yang diberikan dapat berjalan sesuai dengan cash flow bank tersebut. Demikian pula return capacity dari kredit yang diberikan pada industri tersebut dapat dijamin kolektibilitasnya. Jika semua sektor industri yang dibiayai bank tidak memiliki dampak negatif yang berarti maka dapat diharapkan pembiayaan bank pada sektor industri akan meningkat pula. Hal ini menunjukkan bahwa operasional perbankan sangat terpengaruh oleh perkembangan sektor yang dibiayai.
      Ada beberapa ketentuan dalam UUPPLH yang dapat dijadikan landasan bagi peran dan tanggung jawab bank dalam pelaksanaan green banking dalam hukum perkreditan di Indonesia, antara lain Pasal 22, Pasal 36, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68. Disamping itu pula dapat diambil kebijakan dari pemerintah dalam bidang perbankan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan, antara lain dari UU Perbankan pada Penjelasan Umum Angka 5 Pasal 8 ayat (1). Sikap tanggap perbankan Indonesia tersebut ditujukan pada pembangunan berwawasan lingkungan sebagaimana diatur dalam UUPPLH sehingga peran dan tanggung jawab bank dalam penegakan hukum lingkungan menjadi jelas.
      Berdasarkan uraian tersebut di atas maka peran dan tanggung jawab perbankan dalam pelaksanaan hukum perkreditan berwawasan lingkungan, bank perlu melakukan antisipasi terhadap potensi pencemaran dalam kegiatan usaha calon nasabah debitur, setidak-tidaknya karena tiga hal, yaitu sebagai pemegang kredit, ikut dalam manajemen dan demi keamanan atau kelancaran pembayaran kredit itu sendiri. Bank Indonesia (BI) berada pada posisi yang sangat penting dalam memberikan pedoman bagi bank-bank pembangunan dan lembaga keuangan bukan bank untuk mendorong bahkan mewajibkan bank-bank memberikan pedoman sangat penting karena lembaga perbankan menempati posisi yang strategis dalam “memaksa” kalangan usaha peduli pada aspek perlindungan daya dukung lingkungan, keselamatan, serta kesejahteraan orang banyak.
      Pencantuman klausul-klausul lingkungan hidup bukan saja dimaksudkan sebagai pelaksana kewajiban peran serta bank dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dituntut oleh Pasal 67 UUPPLH, tetapi juga untuk melindungi dirinya atau kreditnya sehubungan dengan sanksi yang ditetapkan oleh Pasal 84 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH.
      Bank akan menderita kerugian berkenaan dengan kredit yang diberikannya bila debitur lalai menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Resiko kerugian tersebut dapat ditekan, apabila bank sebelum dan selama perjanjian kredit berlangsung mengambil langkah-langkah pencegahan dengan melakukan pemeriksaan pendahuluan, melakukan audit lingkungan dan mencantumkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh debitur dalam hubungannya dengan perlindungan lingkungan hidup dalam perjanjian kredit dan dokumen-dokumen lainnya. Dengan demikian penegakan hukum lingkungan oleh bank melalui pelaksanaan audit lingkungan sangat penting untuk dilaksanakan demi keamanan kredit itu sendiri.


B.     Pengaturan Konsep Pemberian Kredit Perbankan yang berwawasan lingkungan
1.      Pengertian
      Konsep pemberian kredit maupun pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah oleh kalangan perbankan yang berwawasan lingkungan (green banking) telah dicanangkan pada tahun 1998 dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian dilanjutkan oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
      Prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh sedangkan ketentuan mengenai usaha bank perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana, termasuk di dalamnya peningkatan peranan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar dan atau berisiko tinggi (Penjelasan Umum UUP).
Menurut Pasal 8 ayat (1) UUP ditegaskan sebagai berikut :
      “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”
Kemudian di dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1)UUP dijabarkan lagi bahwa :
      “Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari nasabah debitur. Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan. Di samping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau risiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.”
      Pengaturan hukum mengenai kebijakan pemberian kredit dan pembiayaan perbankan yang berwawasan lingkungan (green banking) yang tercantum dalam UUP maupun UUPS menurut penulis adalah aturan yang abstrak, karena tidak secara tegas kebijakan tersebut dituangkan dalam bunyi pasal-pasal dalam UPP dan UUPS. Pembuat UUP dan UUPS hanya sekedar menghimbau kepada industri Perbankan agar memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau risiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.
      Menurut hemat penulis, pengaturan hukum dan kebijakan hukum lingkungan terhadap kegiatan pemberian kredit dan pembiayaan perbankan yang berwawasan lingkungan (green banking) diawali pada bentuk hukum pendirian Bank Umum maupun Bank Syariah/Unit Usaha Syariah.
      Dengan berlakunya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), bentuk hukum suatu Bank Umum menurut UUP dapat berupa antara lain Perseroan Terbatas (PT), begitu pula bentuk hukum Bank Syariah/Unit Usaha Syariah menurut UUPS adalah perseroan terbatas. Maka dengan demikian, baik Bank Umum dan Bank Syariah/UUS harus tunduk pada ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas (“UUPT)”.
      Dalam ketentuan Pasal 74 UUPT telah ditegaskan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan  dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility). Ketentuan ini bertujuan untuk tetapkan menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
      Berkaitan dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility) tersebut, maka timbul pertanyaan bagi kita “Apakah Bank Umum maupun Bank Syariah juga diwajibkan melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility).” ?
      Di dalam Penjelasan Pasal 74 UUPT dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
      Memang Bank Umum dan Bank Syariah adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Sebagai contoh Bank Umum atau Bank Syariah memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah kepada Nasabah Debitur yang melakukan kegiatan dan/atau usahanya yang berskala besar dan atau risiko tinggi, seperti perkebunan dan pabrik kelapa sawit, tambang, pembangkit tenaga listrik dan lain sebagainya. Maka dalam hal ini Bank Umum atau Bank Syariah juga diwajibkan melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility).
      Selanjutnya beberapa ketentuan dalam UUPPLH yang dapat dijadikan landasan bagi peran dan tanggung jawab bank dalam pelaksanaan green banking dalam hukum perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah di Indonesia, antara lain Pasal 22, Pasal 36, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68.
      Untuk membahas suatu masalah mengenai berlakunya hukum, terdapat asas hukum antara lain:[23]
·         Lex Superiori derogate lex inferiori (peraturan hukum yang lebih tinggi dapat menyimpangi yang lebih rendah).
·         Lex posteriori derogate lex apriori (peraturan hukum yang kemudian dapat menyimpangi yang terdahulu).
·         Lex specialis derogate lex generalis (peraturan hukum yang khusus dapat menyimpangi yang umum).
·         Bahwa tidak ada peraturan hukum yang berdiri sendiri, melainkan keterkaitan dengan peraturan hukum lainnya.
·         Setiap hubungan hukum mempunyai dua segi, pada satu pihak merupakan hak, dan pada pihak lainnya merupakan kewajiban.
      Dengan demikian  jika membahas suatu masalah mengenai berlakunya hukum dalam hal ini kegiatan pemberian kredit perbankan yang berwawasan lingkungan, tentunya tidak terlepas dari asas hukum yang menyebutkan : “bahwa tidak ada peraturan hukum yang berdiri sendiri, melainkan keterkaitan dengan peraturan hukum lainnya”.
      Mengingat dalam pemberian kredit perbankan yang berwawasan lingkungan ini objeknya adalah berupa utang yang diberikan kepada perusahaan debitur, maka  “tindakan hukum” di atas sangat erat kaitannya  dengan lembaga “perikatan” sebagaimana dimaksud dalam Buku III KUH.Perdata dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

2.      Konsep Hukum
      Konsep-konsep hukum pada mulanya hanya mengatur tentang bagaimana manusia mendapatkan landasan hak untuk dapat menguasai suatu hak kebendaan yang berhubungan erat dengan sumber-sumber daya alam. Dalam perkembangannya konsep hukum telah memuat pula asas-asas atau dasar-dasar filosofi tentang bagaimana sumber daya alam dan sumber daya buatan (sebagai unsur yang sangat penting dalam menjaga kelestarian dan daya dukung/manfaat lingkungan tersebut) dapat dimanfaatkan oleh manusia secara bertanggung jawab, tetapi bagaimana tingkat kelestarian dan manfaat lingkungan tersebut masih dapat dinikmati oleh generasi-generasi yang akan datang (”generation unborn”).
      Gerakan kesadaran lingkungan telah mampu meyakinkan para politisi dan pengambil keputusan tentang pentingnya masalah lingkungan terintegrasi dalam konsep-konsep pembangunan.
      Komitmen mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan pun menjadi titik tolak atau orientasi pembangunan nasional pasca konferensi Stockholm 1972. Prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan berdasarkan Deklarasi Stockholm 1972 diaktualisasikan ke dalam perundang-undangan nasional (UULH-82) dan disempurnakan pada tahun 1997 (UUPLH-97) berdasarkan perkembangan baru dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992. Deklarasi yang menyoroti aspek lingkungan dan pembangunan itu merupakan refleksi dari komitmen terhadap berbagai prinsip yang menunjang konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
      Menurut Daud Silalahi, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan konsep baru yang terkait dengan konsep pembangunan. Arti keterkaitan ini dapat dihubungkan dengan masalah efisiensi dan keadilan. Melakukan Efisiensi untuk memperbesar kue pembangunan dan keadilan (equity) untuk pembagian yang layak dan menjaga keberlanjutan pemanfaatannya.[24]
      Konsep-konsep hukum baru yang dikandung dalam konsep-konsep di atas telah mencoba mengharmonisasikan antara kedua kepentingan yang satu dengan lainnya yang saling mempengaruhi, yakni antara eksploitasi dan konservasi, antara eksplorasi dan pelestarian, antara ”development” dan ”conservation” dan antara pemanfaatan dan pengelolaan, sebagai pasangan nilai-nilai suatu sistem pengelolaan yang harus dibakukan dalam setiap produk hukum yang mengaturnya.
      Selanjutnya muncul pula istilah-istilah tentang perusakan dan pencemaran lingkungan, yang kemudian diatur oleh peraturan-peraturan hukum tentang cara pencegahan dan penanggulangannya. Di negara-negara yang telah maju seperti di negara di Eropa, Amerika dan Kanada, hal-hal semacam itu telah membudaya dalam kehidupan sehari-hari. Peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang pemanfaatan sumber-sumber daya alam telah memuat unsur-unsur dan kaidah-kaidah hukum tentang pencegahan dan penanggulangan terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan. Pemuatan konsep-konsep ekologi ke dalam konsep hukum dimaksudkan untuk menjaga tingkat keberlanjutan fungsi alam bagi kehidupan manusia, baik generasi yang sekarang maupun yang akan datang.
      Konsep Green Banking sebenarnya bukan seluruhnya hal yang baru. Sering orang memperkirakan apakah konsekuensi tindakan yang akan dilakukannya, dan memikirkan tindak lanjut apa yang diperlukan untuk memperbesar atau memperkecil konsekuensi tindakannya itu. Konsep Green Banking mempelajari dampak pembangunan terhadap lingkungan dan dampak lingkungan terhadap pembangunan yang didasarkan pada konsep ekologi. Ilmu ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik atau interaksi antara pembangunan dan lingkungan.

C.    Tantangan dan Hambatan Perbankan  di Kota Medan Dalam  Penerapan Konsep Pemberian Kredit Perbankan yang berwawasan lingkungan
      Pengembangkan energi ramah lingkungan (green energy) di Indonesia semakin meningkat akhir-akhir ini, tetapi untuk memperoleh sumber pembiayaan yang diperlukan oleh proyek-proyek energi bersih tsb masih dihadapkan pada berbagai kendala. Kebanyakan lembaga keuangan reguler masih meragukan kelayakan proyek-proyek semacam itu, dan masalah perlindungan lingkungan masih belum menjadi bahan pertimbangan penting bagi perbankan dalam menilai kelayakan sebuah proyek. Tetapi Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral saat ini sedang mempersiapkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan  untuk mendorong perbankan nasional memberi porsi lebih besar kepada proyek-proyek berteknologi hijau dalam portofolio kredit mereka, dan meminta perbankan untuk lebih memperhatikan isu-isu lingkungan dalam proses analisis kredit mereka.
      Menurut  Edi Setiawan, Asisten Direktur dan Periset Senior pada Bagian Riset dan Regulasi Bank di BI,  instansinya sudah sejak lebih dari lima tahun terakhir ini mempertimbangkan perlunya sektor finansial untuk terlibat dalam usaha-usaha perlindungan lingkungan. Berdasarkan Nota Kesepahaman yang dibuat dengan Kementrian Lingkungan Hidup pada tahun 2006, BI menghimbau lembaga perbankan untuk meminta klien mereka melakukan ‘studi lingkungan’ sebelum mengajukan kredit bagi proyek-proyek yang dianggap berpotensi menghadapi masalah yang berkaitan dengan lingkungan.[25]
Namun pada prakteknya, mayoritas bank tidak memperlakukan isu-isu lingkungan sebagai prioritas yang perlu diperhatikan. Meskipun mereka memasukkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai salah satu faktor yang diperlukan dalam prosedur pengevaluasian kelayakan kredit (credit compliance), isu  lingkungan tetap belum dianggap sebagai faktor yang menentukan dalam  proses analisa kredit. Setiawan mengakui bahwa isu tersebut memang pada dasarnya bukan merupakan perhatian utama bagi BI dalam menjalankan operasinya. Bahkan menurut dia, Bank Sentral di negara-negara maju seperti Uni Eropa biasanya tidak terlibat sama sekali dalam masalah-masalah lingkungan. Masalah pemeliharaaan lingkungan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah negara-negara tersebut dan untuk itu pemerintah membangun sistem yang mendukung gagasan-gagasan dan usaha-usaha yang bertujuan melindungi dan memelihara lingkungan, yang dalam pelaksanaannya melibatkan seluruh komunitas termasuk lembaga-lembaga keuangan.
      Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU No. 32/2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang antara lain mengatur kewajiban bagi industri untuk melindungi alam dan lingkungan. Untuk itu, sejak tahun 2010, BI telah mendorong bank-bank komersial untuk memasukkan isu lingkungan ke dalam praktek pengelolaan resiko mereka. Para eksekutif bank diwajibkan untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap resiko kemungkinan terjadinya masalah lingkungan pada proyek yang dibiayainya yang mungkin berdampak negatif pada reputasi bank yang bersangkutan. Masalah lingkungan yang menimpa sebuah proyek yang dibiayai oleh sebuah bank  dapat berpotensi mengganggu keselamatan bank itu sendiri. Bank yang terjerat di dalam proses pengadilan mengenai masalah lingkungan tak bisa terjebak dalam  perkara-perkara hukum yang rumit dan menguras banyak tenaga dan biaya dalam menghadapi otoritas pemerintah atau organisasi perlindungan alam. Jika bank dikalahkan dalam perkara semacam itu, reputasi bank yang bersangkutan akan menjadi taruhan.
      Selama dua tahun terakhir ini BI berfokus pada usaha untuk mendorong bank komersial agar berkomitmen untuk lebih menaruh perhatian pada masalah lingkungan dalam proses analisis kredit. Dalam kaitan itu  Setiawan beserta timnya telah menyelenggarakan sejumlah lokakarya dan program-program pelatihan bagi para eksekutif menengah perbankan untuk meningkatkan kesadaran mereka mengenai isu-isu lingkungan hidup.
      Lembaga dunia seperti UNEP, UNESCO, dan International Finance Corporation (IFC) salah satu anak perusahaan Worldbank, sudah beberapa tahun ini mengembangkan program pelatihan on-line tentang berbagai aspek green financing. BI memanfaatkan bantuan dari lembaga-lembaga tersebut untuk melaksanakan program-program pelatihan off-line bagi para eksekutif perbankan khususnya yang terlibat dalam pengelolaan resiko kredit dan kepatuhan (compliance). Program tersebut juga memasukkan topik-topik seperti pengenalan terhadap isu-isu pemanfaatan energi terbarukan dan efisiensi energi.
      Menurut Setiawan, kebanyakan dari para peserta pelatihan, yang berasal dari 120 bank komersial lokal, menyambut baik rencana BI untuk mengeluarkan regulasi menyangkut isu lingkungan yang harus dipatuhi oleh sektor perbankan.
“Mereka mulai menyadari bahwa menaruh perhatian serius pada resiko perlindungan alam merupakan bagian kepentingan bisnis mereka sendiri.”
      Pelatihan juga berisikan tentang praktek-praktek terbaik yang sudah berhasil dilaksanakan oleh industri perbankan internasional yang mendukung pengembangan teknologi hijau. “Kami mencoba untuk menyampaikan pesan ini kepada industri perbankan lokal bahwa Indonesia dan ASEAN mempunyai prospek dan peluang sangat besar dalam ‘bisnis hijau’. Jika mereka  (bank lokal) tidak menangkap peluang-peluang itu, maka bank asing–lah yang akan mengambilnya, terutama di saat ASEAN Free Trade (AFTA) mulai beroperasi di tahun 2015 mendatang.”
      Sebenarnya dalam urusan perlindungan lingkungan yang melibatkan perbankan, Indonesia tidak begitu tertinggal jauh dari negara-negara tetangga di Asia. Beberapa bank besar seperti BNI dengan program BNI Go Green,[26] Mandiri, dan beberapa bank swasta termasuk bank asing dalam praktek telah mulai memperlakukan isu lingkungan dengan serius, namun sayangnya belum semua bank melakukan hal yang sama. Filipina adalah salah satu negara yang cukup aktif mempersiapkan sektor keuangannya untuk membantu negara itu bergerak menuju pelaksanaan konsep ekonomi hijau.
      Pada umumnya bank bersikap konservatif dalam memilih bisnis atau proyek yang akan melibatkan mereka, dan dalam hal ini biasanya mereka akan memilih untuk tetap berada dalam wilayah dimana mereka merasa nyaman (comfort zone), seperti bisnis beresiko terendah, rendemen besar, payback cepat, dan adanya jaminan yang cukup.
      Selanjutnya menurut Setiawan, BI akan menunggu sementara waktu sebelum mengeluarkan kebijakan semacam itu, karena saat ini BI sedang fokus pada pelaksanaan operasional dari Otoritas Jasa Keuangan/OJK, sebuah badan khusus yang belum lama ini dibentuk oleh pemerintah di sektor finansial. OJK mempunyai tugas untuk mengatur sektor keuangan dengan lebih efektif dan akan mulai beroperasi pada Januari, 2013 mendatang. OJK akan dipimpin oleh Muliaman D. Hadad, mantan Deputi Gubernur BI yang dikenal sangat mendukung praktek green banking. Kebijakan-kebijakan baru yang mengarah pada green banking diharapkan akan dikeluarkan oleh OJK yang mempunyai otoritas regulasi penuh di sektor perbankan Indonesia.

            [1]Selanjutnya disebut UULH, UUPLH, UUPPLH.
[2]Selanjutnya disebut UUP.
[3]Selanjutnya disebut UUPS.
[4]Sesuai dengan bentuk hukum suatu Bank Umum menurut Pasal 21 Undang-Undang Perbankan 1992.
[5]Sutan Remy Sjahdeini (1), Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia (IBI), 1993), hal. 240-257.
[6] Ibid, hal. 241.
[7]Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS).
[8]Fadmin Prihatin Malau, Dilema Industri pada Lingkungan Hidup, (Medan : Harian Analiasa, 2014), hal. 19.
[9]Hasanuddin Rahman, Kebijakan Kredit Perbankan Yang Berwawasan Lingkungan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 90.
[10]Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Delik), Cetakan Pertama, (Jakarta : Sinar Grafika, 1991), hal. 28-29.
[11]Sutan Remy Sjahdeini (2), Corporate Social Responsibility, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26 No. 3 Tahun 2007, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, hal. 57.
[12]Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Normatif,  Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hlm. 63.
[13]Nicholas F. Maramis, Tanggung Jawab Perbankan Dalam Penegakan Green Banking Mengenai Kebijakan Kredit, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Vol. XXI/No.3/April-Juni/2013, Manado, hal. 105.
[14]Hasanuddin Rahman, Op-cit., hal. 40.
[15]Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal. 40.
[16]George A. Nations III, “Minimizing Risk of Loss from Environmental Laws”, dikutip dari : Erman Rajagukguk, Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, (Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), hal. 318.
[17]Ibid,  hal 319.
[18]Ibid.
[19]Ibid.
[20]H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Bankers Book, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 154.
[21]Burhanudin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia, Peran Serta dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Meningkat, Siaran Pers Bersama Bank Indonesia dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 8 September 2004.
[22]Nabiel Makarim, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Peran Serta dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Meningkat, Siaran Pers Bersama Bank Indonesia dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 8 September 2004
[23]Heru Soepraptomo, Segi-Segi Hukum Obligasi, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23 No. 1, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2004, hal. 47-48.
[24]Daud Silalahi, Perangkat Hukum Nasional, Regional dan Internasional dalam Pembangunan yang Berkelanjutan, Artikel pada Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun I Nomor I, diterbitkan oleh ICEL, Jakarta, 1994, hal. 37.
               [26] http://www.bni.co.id/id-id/tentangkami/corporatesocialresponsibility/bnigogreen.aspx

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Abdurrahman, 1990, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta.
Achmad Sanusi, 1991, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Tarsito, Bandung.
Bambang Sunggono, 2001, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia, Peran Serta dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Meningkat, Siaran Pers Bersama Bank Indonesia dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 8 September 2004.
Daud Silalahi, Perangkat Hukum Nasional, Regional dan Internasional dalam Pembangunan yang Berkelanjutan, Artikel pada Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun I Nomor I, diterbitkan oleh ICEL, Jakarta, 1994.
Fadmin Prihatin Malau, Dilema Industri pada Lingkungan Hidup, (Medan : Harian Analiasa, 2014).
George A. Nations III, “Minimizing Risk of Loss from Environmental Laws”, dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Bankers Book, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hasanuddin Rahman, 2000, Kebijakan Kredit Perbankan Yang Berwawasan Lingkungan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.
Heru Soepraptomo, 2004, Segi-segi Hukum Obligasi, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23 No. 1, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta.
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2005.
Koesnadi Hardjasoemantri, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Edisi ke-7, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Leden Marpaung, 1991, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar Grafika, Jakarta.
Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983.
Mas Achmad Santosa, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta.
Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis), Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerjasama dengan Penerbit Alumni, Bandung.
Munir Fuady, 2002, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Nabiel Makarim, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Peran Serta dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Meningkat, Siaran Pers Bersama Bank Indonesia dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 8 September 2004.
Nicholas F. Maramis, Tanggung Jawab Perbankan Dalam Penegakan Green Banking Mengenai Kebijakan Kredit, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Vol. XXI/No.3/April-Juni, Manado, hal. 105.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Sutan Remy Sjahdeini (I), 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta.
Sutan Remy Sjahdeini (II), 2007, Corporate Social Responsibility, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26 No. 3 Tahun 2007, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta.
Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang.
Zainal Asikin, Pokok-Pokok Hukum Perbankan di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis), Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerjasama dengan Penerbit Alumni, Bandung, 2002.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984.
Yunus Husein, Rahasia Bank, Privasi Versus Kepentingan Umum, Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2003.
Tan Kamello (Penyunting), Butir-butir Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa ke Masa, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum USU 1979-2001, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003.

Situs Internet :

http://www.bni.co.id/id-id/tentangkami/corporatesocialresponsibility/bnigogreen.aspx



"BBM Satu Harga"

Pada tahun 2004 saya berkunjung ke Pulau Bawean Kabupaten Gresik Propinsi Jawa Timur dalam rangka menjalankan tugas profesi. Keadaan pere...