Peran serta BNI pada lingkungan dan sosial
Abstract
The problems examined in this
study: first, What is the legal
analysis of the application of the concept of bank lending in order to conserve
environmentally sound living environment? second,
setting How the concept of bank lending environmentally sound? Third, what are the factors that become
obstacles for Banking in Medan to applying the concept of providing
environmentally sound banking credit in the framework of environmental conservation
as a solution to achieve the goal of sustainable economic activity? This study
uses normative legal research methods and approach legislation. The results
showed that: First, that the
application of the concept of providing environmentally sound banking credit in
Banking in Medan has not been done properly. Second, the concept of setting up bank loans with environmental
needs specifically regulated in the Banking Act. Thirdly, there are several barriers for banks in the city of Medan
on the application of the concept of bank loans in the framework of
environmentally sound environmental conservation as a solution to achieve the
goal of sustainable economic activity.
Keywords: Banking Lending The Environmental, Sustainable Development,
Banking
Law.
Pendahuluan
Selama ini perbankan di
Indonesia pada umumnya dan di Kota Medan, Sumatera Utara pada khususnya dalam
pemberian kredit kepada Nasabah Debitur kurang memperhatikan aspek lingkungan
atau tidak berwawasan lingkungan, terutama pemberian kredit kepada Nasabah
Debitur yang akan melakukan rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan
dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup maupun
kepada Nasabah Debitur yang sudah melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan pentingan terhadap lingkungan hidup.
Memang saat ini
belum ada pengaturan hukum yang tegas terhadap perbankan agar dalam pemberian
kredit harus memperhatikan aspek lingkungan atau berwawasan lingkungan, maka wajar
saja perbankan kurang memperhatikan
aspek lingkungan atau berwawasan lingkungan dalam pemberian kredit
kepada Nasabah Debitur.
Menurut
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, pada bagian Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 8
hanya menyebutkan pihak perbankan yang akan memberikan kredit kepada Nasabah
Debitur harus memperhatikan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), akan tetapi ketentuan
tersebut tidak dilanjutkan dengan pengaturan yang tegas dalamUndang-Undang
Perbankan (Pasal demi Pasal). Namun, secara implisit Undang-Undang Perbankan telah
mencanangkan suatu konsep pemberian kredit yang berwawasan lingkungan.
Dampak yang
ditimbulkan akibat adanya pemberian kredit yang kurang memperhatikan aspek
lingkungan atau berwawasan lingkungan telah banyak menimbulkan kerusakan dan
tercemarnya lingkungan hidup di sekitar usaha dan/atau kegiatan dari Nasabah
Debitur, seperti sungai, pengairan (irigasi), tanah pertanian masyarakat
setempat yang terdapat dalam wilayah Sumatera Utara.
Nasabah Debitur
yang melakukan usaha dan/atau kegiatan akan menuai protes dari masyarakat
setempat, dituntut ganti rugi oleh masyarakat setempat, bahkan kemungkinan usaha dan/atau
kegiatan ditutup oleh Pemerintah Daerah setempat, sehingga dengan demikian
usaha dan/atau kegiatan Nasabah Debitur menjadi terganggu produktivitasnya dan
tidak tercapai tujuan kegiatan ekonomi berkelanjutan (sustainable economic activity), yang pada akhirnya Nasabah Debitur
akan mengalami kesulitan dalam pembayaran hutang kepada Bank.
Dengan
berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan terakhir diganti dengan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
juga Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah
serta penerimaan agunan berupa properti
nasabah debitur oleh bank, maka ada 3 alasan mengapa bank harus menempuh
kebijakan perkreditan yang berwawasan lingkungan.
Alasan
yang pertama, adalah yang
berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UULH. Menurut Pasal 6 ayat (1) UULH
tersebut bahwa setiap orang bukan saja mempunyai hak tetapi juga mempunyai
kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.
Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (1) undang-undang tersebut bahwa yang
dimaksudkan dengan “setiap orang” pada Pasal 6 ayat (1) itu (seperti juga
dimaksudkan pada Pasal 5 dan pasal-pasal yang lain) adalah “orang seorang”,
“kelompok orang”, atau “badan hukum”. Maka bank sebagai badan hukum
mempunyai kewajiban pula berperan serta
dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.
Alasan
kedua, ialah karena bank
perlu melindungi dirinya dan kredit yang diberikannya sehubungan dengan
ketentuan Pasal 20 dan Pasal 22 UULH tersebut dihubungkan dengan Pasal 6 huruf
k. dan Pasal 7 huruf c. Undang-Undang Perbankan 1992 serta klausul-klausul
dalam perjanjian kredit tentang kewenangan bank dalam rangka pengawasan,
pengamanan dan penyelamatan kredit.
Alasan
ketiga mengapa kebijakan
perkreditan bank-bank di Indonesia harus merupakan yang berwawasan lingkungan
adalah sehubungan dengan risiko lain yang mungkin dihadapi oleh bank, yaitu
sekalipun apabila properti yang menjadi agunan tidak tercemar, tetapi apabila
properti lain milik nasabah debitur tercemar, maka kredit bank dapat pula
berada dalam bahaya.
Selanjutnya
Sutan Remy Sjahdeini berpendapat, secara tidak langsung besar sekali andil bank
dalam pencemaran lingkungan melalui pemberian kredit
maupun pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah.
Lama sebelum bank-bank mulai menerapkan
AMDAL dalam penilaian kredit, yaitu sebagai pelaksanaan Surat Edaran Bank
Indonesia No. 21/9/UKU tanggal 25 Maret 1989 perihal “Kredit Investasi dan
Penyertaan Modal”, telah bertriliun-triliun rupiah jumlah kredit dikeluarkan
oleh perbankan untuk membiayai proyek-proyek yang tentu saja tidak diberikan
berdasarkan kebijakan perkreditan yang berwawasan lingkungan hidup.
Mengingat
di dalam Undang-Undang Perbankan tidak ada pengaturan yang tegas mengenai
pemberian kredit dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus memperhatikan
aspek lingkungan atau berwawasan lingkungan, maka perlu diterapkan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan peraturan pelaksanaannya terhadap kegiatan pemberian kredit dan
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang merupakan salah satu kegiatan usaha
dari kalangan Perbankan kepada sektor Industri.
Regulasi atau UU Lingkungan Hidup harus
diimplementasikan, sebab apa yang dikatakan Menteri Perindustrian, Mohamad
Suleman Hidayat, adalah delapan sektor industri yang menyumbang emisi karbon
dalam jumlah besar, di antaranya industri semen, industri baja, industri pulp
dan kertas, industri tekstil, keramik, pupuk, petrokimia dan industri makanan
dan minuman tertentu.
Timbul pertanyaan, apakah delapan sektor
industri di atas untuk menjalankan kegiatannya dan/atau usahanya tidak
menggunakan dana dari kalangan Perbankan (Konvensional atau Prinsip Syariah) ?
Jawabannya, sudah dapat dipastikan bahwa industri-industri tersebut menggunakan
dana dari kalangan Perbankan dalam bentuk kredit/pembiayaan Investasi dan/atau
kredit/pembiayaan Modal Kerja.
Kemungkinan bank tersangkut dalam kasus
pencemaran, lebih banyak karena kekuranghati-hatian, yang akan menimbulkan apa
yang disebut dalam hukum pidana “kealpaan”.
D. Simmons, menerangkan : umumnya
kealpaan itu terjadinya terdiri dari dua bagian, yaitu tak berhati-hati
melakukan sesuatu perbuatan, di samping dapat menduga akibat perbuatan itu.
Tetapi meskipun sesuatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin
juga terjadi kealpaan, jika yang berbuat itu telah mengetahui, bahwa dari
perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang.
Kealpaan ialah oleh karena melakukan perbuatan itu, meskipun telah mengetahui
akibatnya. Dalam hal terakhir dalam sementara itu hanya dapat dianggap adanya
tanggung jawab tentang kealpaan itu, kalau untuk melakukan perbuatan itu tak
ada alasan yang patut dan yang dibuat tidak hanya menghindarkan akibat itu
melainkan bagaimanapun juga harus mengelakkannya.
Disamping
itu,
menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam Bab V
Pasal 74, disebutkan setiap
Perseroan Terbatas diwajibkan melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
(Corporate Social Responsibility/CSR),
maka oleh karena itu suatu Bank yang pada umumnya berbadan hukum (rechtpersoon) Perseroan Terbatas (PT)
tidak dapat terlepas dari Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan tersebut.
Dalam pengertian
sempit CSR (Corporate Social
Responsibility) adalah tanggung jawab sosial perusahaan terhadap para
pemangku kepentingan (stakeholders)
baik ke dalam (internal) maupun keluar (eksternal). Sementara itu dalam pengertian
yang luas CSR (Corporate Social
Responsibility) berkaitan erat dengan tujuan mencapai kegiatan ekonomi
berkelanjutan (sustainable economic
activity). Keberlanjutan kegiatan ekonomi bukan hanya terkait soal tanggung
jawab (responsibility) sosial tetapi
juga menyangkut akuntabilitas (accountability) perusahaan
terhadap masyarakat, bangsa, dan dunia internasional.
Untuk mengetahui, apakah kalangan Perbankan di Kota Medan telah menerapkan
konsep “Pemberian Kredit Yang Berwawasan
Lingkungan” ini dalam rangka pelestarian lingkungan hidup sebagai solusi untuk
mencapai tujuan kegiatan ekonomi
berkelanjutan, maka penulis mencoba melakukan penelitian
ini.
Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, maka ada beberapa hal
yang menjadi isu hukum dalam penelitian ini sebagai berikut:
· Bagaimanakah analisis hukum mengenai
penerapan konsep Pemberian Kredit Perbankan Yang Berwawasan Lingkungan dalam
rangka Pelestarian Lingkungan Hidup ?
· Bagaimanakah pengaturan konsep Pemberian Kredit Perbankan Yang
Berwawasan Lingkungan ?
· Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi
hambatan bagi Perbankan di Kota Medan terhadap penerapan konsep Pemberian
Kredit Perbankan Yang Berwawasan Lingkungan dalam rangka Pelestarian Lingkungan
Hidup sebagai solusi untuk mencapai tujuan kegiatan ekonomi berkelanjutan ?
Metode Penelitian
Metode penelitian
yang digunakan dalam rangka menjawab rumusan masalah dalam kajian ini adalah
metode penelitian hukum normatif (normative legal research).
Penelitian hukum normatif dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan,
mempelajari dan menganalisis berbagai bahan hukum baik bahan hukum sekunder
maupun bahan hukum tersier yang relevan. Data hasil penelitian kemudian akan
disajikan secara kualitatif berdasarkan relevansinya terhadap rumusan masalah.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
A.
Analisa Hukum Mengenai Konsep Pemberian
Kredit Perbankan yang Berwawasan Lingkungan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
sebagai landasan konstitusional bagi penyelenggaraan pemerintah dalam Pasal 33
ayat (3) menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dkuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Hal yang
sama dipertegas lagi pada tahun 1982, dimana Indonesia untuk pertama kalinya
mengundangkan suatu undang-undang yang sangat penting mengenai pengelolaan lingkungan
hidup, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya Undang-undang ini telah diganti
dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
dan kemudian kembali diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPPLH).
Kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup dalam setiap GBHN dan
diundangkannya UUPPLH tersebut merupakan tanggapan (response) pemerintah
dan bangsa Indonesia terhadap hasil “United Nations Conference on the Human
Environment” yang diselenggarakan tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm.
Apabila sumber hukum dan
perundangan utama perbankan ialah Undang-undang No. 10 Tahun 1998, dan sumber
hukum dan perundangan utama dari lingkungan hidup ialah Undang-undang No. 23.
Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, maka sumber hukum dan
perundangan utama dari hukum perjanjian banyak ditentukan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUH. Perdata). Perbankan perlu beradaptasi secara
interdepedensial dengan lingkungan, dalam hal ini dikenal dengan istilah green
banking, sebagai cara untuk memenangkan persaingan pasar sekaligus turut
melestarikan lingkungan, karena perbankan tidak bisa hidup tanpa lingkungan
yang memadai. Ini tercermin dari aspek iklim usaha yang baik maupun lingkungan
hidup yang lestari. Pembiayaan proyek pada bank yang berwawasan
lingkungan (green banking) telah terbukti dapat meningkatkan daya saing
dan memberi keunggulan tersendiri dalam strategi bisnis.
Dalam hal pemberian kredit, bank dituntut agar dapat
memperoleh keyakinan tentang kemampuan nasabah sebelum menyalurkan kreditnya,
maka faktor melakukan penilaian secara cermat dan seksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha, debitur wajib meyakinkan bank.
Undang-undang Perbankan ini secara implisit menentukan bahwa pemberian kredit
harus memiliki jaminan cukup dan menyandarkan diri pada keyakinan atau
kemampuan dan kesanggupan dari debitur untuk melunasi hutangnya. Terdapat suatu
ilustrasi mengenai keterkaitan dunia usaha dengan lingkungan hidup, yakni:
“Suatu badan usaha
mendapatkan fasilitas kredit di bank pelaksana, untuk ini bank telah melakukan
evaluasi yang mendalam tentang karakternya, kemampuannya, modalnya, agunannya,
dan kondisi serta prospek usaha dan/atau kegiatan badan usaha yang
bersangkutan.”
Dalam hubungan inilah Undang-undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan perturan lingkungan hidup lainnya
dapat diberlakukan, yaitu suatu usaha dan/atau kegiatan dalam opersionalnya
harus selalu mengindahkan UUPPLH serta peraturan lingkungan hidup lainnya. Ada
beberapa ketentuan dalam UUPPLH yang dapat dijadikan landasan bagi peran dan
tanggung jawab bank dalam pelaksanaan green
banking dalam hukum perkreditan di Indonesia, antara lain Pasal 22, Pasal
36, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68.
Disamping itu dapat pula diambil kebijakan perbankan,
dimana Bank Indonesia yang berkewajiban menunjang kebijakan tersebut sebagai
otoritas moneter yang antara lain bertugas mengatur dan mengawasi bank
sebagaimana hal itu ditentukan dalam Pasal 8 huruf c Undang-undang No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3
Tahun 2004. Bank memiliki peranan sebagai penghimpun dana dari masyarakat untuk
modal pembangunan. Sebagai lembaga keuangan, Bank memiliki usaha pokok, yaitu
memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran
uang. Pemberian kredit merupakan salah satu bagian yang penting dalam kehidupan
perbankan, sebab bank dapat hidup dari usaha penyaluran dan berupa pemberian
kredit tersebut.
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional, bank
perlu terus ditingkatkan dan diperluas peranannya, sehingga dapat memberikan
manfaat yang optimal. Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan nasional
tersebut dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan ditentukan bahwa: “Perbankan
Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.”
Ketentuan di atas jelas bahwa lembaga perbankan
mempunyai peranan penting dan strategis tidak saja dalam menggerakkan roda
perekonomian nasional, tetapi juga diarahkan agar mampu menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional. Ini berarti bahwa lembaga perbankan haruslah mampu
berperan sebagai
agent of development dalam upaya mencapai tujuan
nasional tadi,
termasuk melalui upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui
pola
green banking.
1. Penerapan Green Banking dalam Hukum
Perkreditan
Pemberian kredit oleh perbankan dapat
merupakan suatu masalah bila kredit itu dipergunakan untuk usaha ataupun
kegiatan yang pada akhirnya menimbulkan atau mengakibatkan pencemaran atau
perusakan lingkungan hidup. Dalam hal ini seharusnya badan-badan atau lembaga-lembaga
keuangan yang memberikan kredit dapat digerakkan untuk berperan serta dalam
pengelolaan lingkungan hidup, karena perusahaan yang ingin berkembang
tergantung pada fasilitas kredit. Sebagai salah satu pemberi dana, Bank tidak
saja hanya melihat pertimbangan ekonomisnya, tetapi juga keterpaduan dengan
lingkungannya. Dengan demikian perbankan tidak ikut membiayai proyek-proyek
yang diperkirakan akan dapat menimbulkan dampak yang merugikan ekosistem. Pada
sistem perbankan, dengan pertimbangan faktor-faktor keseimbangan lingkungan
akan mengeliminisasikan resiko-resiko dalam pemberian kreditnya kepada nasabah
debitur.
Dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH),
untuk menentukan suatu kegiatan yang memiliki dampak penting terhadap
lingkungan hidup ditentukan oleh :
a. Jumlah manusia yang akan
terkena dampak;
b. Luas wilayah persebaran
dampak;
c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena
dampak;
e. Sifat kumulatif dampak tersebut;
f. Berbalik (reversible) atau tidak
berbaliknya (irreversible) dampak;
g. Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Berkaitan
dengan hal tersebut di atas, sektor perbankan dalam membiayai proyek industri
secara umum dapat mengkaji hal-hal sebagai berikut :
a. ada hal-hal
yang berbahaya terhadap kesehatan yang berkaitan dengan proses industrinya;
b. akan
terjadi gangguan yang cukup berarti terhadap masyarakat;
c. ada
potensi konflik dengan kepentingan lainnya;
d. perlunya penambahan pembangunan infrastruktur
termasuk transport dan pembangkit tenaga listrik yang ada;
e. proyek industri sudah
memiliki instalasi pengolahan limbah atau belum Keseluruhan itu perlu dikaji
karena sektor perbankan yang berfungsi sebagai intermediary dalam
pembangunan telah melakukan mobilisasi dana masyarakat dan menyalurkan dana
tersebut antara lain berupa pembiayaan kredit pada industri-industri dalam
proses pembangunannya. Penjabaran pelaksanaan wawasan tersebut tercermin pada
Pasal 22 ayat (1) UUPPLH.
Sikap tanggap perbankan Indonesia sebagaimana
dinyatakan dalam UU Perbankan dalam penjelasan umumnya terdapat kalimat sebagai
berikut : “Prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh sedangkan ketentuan
mengenai kegiatan usaha bank perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan
penyaluran dana termasuk di dalamnya peningkatan peranan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar dan atau beresiko
tinggi.” Selanjutnya dalam penjelasan umum angka 5 pada Pasal 8 ayat (1)
dikatakan : “Disamping itu bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau beresiko
tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.”
Dari
penjelasan di atas ternyata undang-undang Perbankan secara eksplisit telah
mencantumkan kewajiban perbankan di Indonesia untuk melaksanakan perbankan
hijau (Green Banking) dan hal ini sesuai dengan gerak langkah yang
dibutuhkan perbankan nasional untuk berperan serta dan bertanggungjawab dalam
pelestarian fungsi lingkungan guna melaksanakan pembangunan berwawasan
lingkungan seperti yang diamanatkan dalam propenas Tahun 2000-2004 dan menjadi
semakin jelas. Dengan mengesampingkan aspek lingkungan justru dapat
mengakibatkan resiko menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat. Fungsi utama
perbankan sebagaimana telah diungkapkan adalah penghimpun dana masyarakat dan
menyalurkannya pada masyarakat.
Dalam kegiatan
operasionalnya disamping harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomis, juga
perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain yaitu masalah lingkungan hidup.
Kegiatan operasional perbankan tersebut yang terutama berkaitan dengan
pemberian kredit kepada nasabahnya. Bank (kreditur) dalam memberikan kredit
kepada debitur selalu memakai perjanjian kredit, dalam arti dibuat secara tertulis
(kontrak). Meskipun secara tegas Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
perbankan tidak mengatur bahwa setiap transaksi kredit harus memakai perjanjian
tertulis. Menurut isi Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat oleh para
pihak bersangkutan (debitur dan kreditur) merupakan hukum positif bagi yang
bersangkutan, dimana untuk sahnya perjanjian harus memenuhi syarat materiel dan
formal. Salah satu manifestasi dari isi Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian
kredit sering disebutkan sebagai kebebasan berkontrak; artinya apa yang akan
dicantumkan dalam perjanjian kredit diserahkan kepada para pihak. Namun
demikian, meskipun isi perjanjian kredit diserahkan kepada para pihak yang
bersangkutan atau dirundingkan, ternyata pada prakteknya isi perjanjian kredit
lebih banyak ditentukan oleh bank sendiri, artinya debitur tidak diberi
kesempatan untuk turut serta merundingkan isi perjanjian tersebut.
Dari substansi
perjanjian kredit tersebut diatas dapat dikatakan bahwa kedudukan bank
(kreditur) lebih kuat dibanding debitur, sehingga pihak bank dapat memaksakan
kepada debitur agar menurut dan mematuhi dengan apa yang sudah ditentukan oleh
pihak bank sebelumnya. Hal ini dilakukan agar kepentingan bank tetap
terlindungi, dan bank tidak dirugikan seandainya terjadi wanprestasi dari pihak
debitur dikemudian hari. Oleh karena pihak bank secara ekonomis berada pada
pihak yang kuat, maka “kekuatan” yang dimiliki oleh bank dapat dipergunakan
untuk memaksakan kepada pihak debitur dalam membuat perjanjian kredit dengan
memasukkan klausula-klausula pencegahan pencemaran lingkungan hidup yang harus
dilakukan oleh debitur dalam menjalankan usahanya atau secara umum dimasukkan
klausul-klausul lingkungan hidup (environmental provisions).
Pencantuman
klausul pencegahan pencemaran lingkungan hidup bukan hanya sekedar pelengkap
isi perjanjian kredit, tetapi juga harus disertai dengan pihak instansi terkait
yang mengawasi agar tidak terjadi pencemaran lingkungan hidup, artinya harus
ada tindak lanjut dan kerjasama dengan pihak lain yang diberi tugas untuk
mengawasi masalah lingkungan hidup, dengan kata lain bahwa klausul-klausul
tersebut harus dilaksanakan/ditegakkan atau diterapkan sebagaimana mestinya,
sesuai dengan maksud dan tujuan dicantumkannya klausul-klausul tersebut.
Klausul-klausul
apa saja yang harus ada dalam perjanjian kredit yang dicantumkan sebagai upaya
mencegah terjadinya pencemaran lingkungan hidup dapat kita lihat di Amerika
Serikat, dimana klausul-klausul yang harus ada dicantumkan dalam perjanjian
kredit yang berkaitan dengan kewajiban debitur untuk memelihara lingkungan
hidup antara lain :
Borrower
promises to :
a. Pay for an initial and annual environmental
audit that satisfies the requirements, as set fourth in the lender’s
environmental policy, attached hereto as exhibit…., and;
b. Allow the bank
and its agents access to the property for purposes of conducting environmental
investigation,
Secara harfiah
dapat diterjemahkan sebagai berikut :
a. Bersedia membayar biaya audit awal lingkungan dan
tahunan yang memenuhi syarat terlampir, seperti yang tertera dalam kebijakan
kreditur (pemberi pinjaman) tentang lingkungan, sebagai tanda jadi…., dan
b. Mengijinkan pihak
bank dan agen-agennya untuk memasuki areal miliknya untuk kepentingan mengadakan
pemeriksaan lingkungan.
Selanjutnya
perjanjian tersebut memuat covenant sebagai berikut :
Borrower promises to :
a. Comply with all environmental statutes and
regulations;
b. Not handle toxic or hazardous substances
without notice to the lender and compliance with applicable law;
c. Pay for clean up, if any, required by the state
or federal environmental law or regulation; and
d. Immediately notify the lender of any environmental
compliance problems.
Secara harfiah
dapat diterjemahkan sebagai berikut :
a. Mematuhi
segala peraturan dan perundang-undangan lingkungan hidup;
b. Tidak berhubungan dengan zat-zat berbahaya ataupun
beracun tanpa memenuhi standar kelayakan pakai dan sepengetahuan pihak
kreditur;
c. Bersedia membayar biaya pembersihan, jika
dikehendaki oleh undan-gundang atau peraturan-peraturan setempat;
d. Secepat mungkin
memberitahu pihak kreditur jika terdapat masalah-masalah yang menyangkut
lingkungan.
Ketentuan-ketentuan
lain yang dicantumkan dalam perjanjian kredit antara lain :
Borrower hereby represents and warrant that :
a. All appropriate inquiry with regard to
environmental matters has been conducted by borrower and has revealed that no
hazardous substance is currently present on the site contains any Environmental
Sensitive Areas.
b. No toxic or hazardouus substance or
contaminants have been placed on the property by borrower.
c. Borrower is not currently and has not at any in
the past violated any environmental law or regulation.
d. Borrower has never been cited by a state or
federal environmental agency for a response action or violation of any kind.
e. Borrower is not and has never disposes of any
hazardous substances or materials in violation of any environmental law or regulation.
f. Borrower is not and has never been transporter of
any hazardous substances.
Secara harfiah
dapat diterjemahkan sebagai berikut :
a. Segala pemeriksaan yang berkaitan dengan masalah
lingkungan telah dilakukan oleh pihak debitur dan arealnya telah dinyatakan
bebas dari zat-zat berbahaya serta tidak ada bagian-bagian yang merupakan
daerah rawan gangguan lingkungan;
b. Tidak ditemui zat-zat berbahaya atau beracun di
areal milik debitur;
c. Debitur tidak pernah melanggar segala peraturan
atau undang-undang lingkungan dimasa yang lalu maupun sekarang;
d. Debitur tidak pernah disebut oleh lembaga
lingkungan pemerintah setempat sebagai pelaku atas tindakan makar atau
pelanggaran hukum atau semacamnya;
e. Debitur tidak pernah membuang segala macam zat
atau benda berbahaya yang melanggar peraturan atau undang-undang lingkungan;
f. Debitur tidak pernah menyangkut segala macam zat yang
berbahaya.
Dalam
penilaian bank, bidang usaha nasabah (debitur) yang mempunyai potensi untuk
mencemarkan lingkungan hidup dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
memberikan kredit. Dengan alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan
antara lain :
a. Jika perusahaan debitur mencemarkan lingkungan,
ada kemungkinan usahanya ditutup oleh pemerintah, jika hal ini terjadi sudah
tentu sangat merugikan bank, dan debitur ada kemungkinan tidak dapat
mengembalikan pinjamannya (menghindari resiko).
b. Sebagai upaya keikutsertaan dalam pelestarian
lingkungan hidup (green banking).
Pencantuman
klausul pencegahan pencemaran lingkungan hidup (
green banking) dalam
praktek perbankan terdapat dalam klausul
affirmative covenants. Klausul
ini adalah hal-hal yang diwajibkan terhitung sejak tanggal perjanjian sampai
dengan dilunasinya kewajiban yang terutang oleh debitur kepada bank (kreditur) berdasarkan
perjanjian kredit.
Hal ini
terjadi karena sampai saat ini belum ada petunjuk dari instansi terkait (Bank
Indonesia) untuk mengeluarkan petunjuk pelaksanaan pencantuman klausul
pencegahan pencemaran lingkungan hidup dalam perjanjian kredit.
Guna mengarahkan kebijaksanaan perkreditan yang berwawasan lingkungan, contoh
ketentuan yang harus diajukan kepada calon debitur dalam proses pemberian dan
persetujuan kreditnya yaitu :
a. AMDAL sebagai persyaratan perizinan atas setiap
kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan/lingkungan hidup.
b. Keputusan persetujuan atas Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) sesuai dengan
syarat-syarat.
c. Surat pernyataan lingkungan dari perusahaan/calon
debitur.
d. Internal monitoring, yaitu kegiatan
pemantauan yang dilakukan oleh perusahaan/debitur secara cermat keadaan
fasilitas, pengoperasian dan pengaruh terhadap lingkungan serta melaporkannya
secara berkala, baik kepada pemerintah maupun bank.
e. Inspection/trade
checking, yaitu kegiatan pemantauan yang dilakukan oleh bank untuk melihat
sejauh mana ketaatan dan pengoperasian serta pengaruh terhadap lingkungan. Oleh
aparat perkreditan hal ini dilaporkan sebagai laporan hasil kunjungan debitur.
2. Peranan Bank untuk Pelaksanaan Green Banking dalam Hukum Perkreditan
Lingkungan
hidup secara ekologis tidak mengenal batas wilayah administratif, batas
institusi, ataupun batas ras, suku, agama ataupun golongan. Termasuk di
dalamnya dunia perbankan. Dalam rangka investasi untuk pendirian industri
dilakukan studi kelayakan baik aspek ekonomi, teknik dan lingkungan. Meskipun
dari sisi kelayakan ekonomi dan teknik telah terpenuhi, namun apabila kelayakan
lingkungan tidak terpenuhi maka investor atau bank tidak akan mengucurkan dana
bagi keperluan investasi. Terkait dengan hal dimaksud, Bank Indonesia telah
mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/2/2005 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum, yang mengatur bahwa penilaian terhadap prospek usaha
sebagai unsur kualitas kredit, meliputi penilaian terhadap upaya yang dilakukan
debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Pada Pasal 10 mengenai
Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian sebagai berikut :
a. prospek usaha ;
b. kinerja (performance) debitur; dan
c. kemampuan membayar.
Pasal 11 ayat
(1) menyebutkan bahwa Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai
berikut :
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara
lingkungan hidup.
Peranan bank
dalam penegakan hukum lingkungan sebagai salah satu lembaga yang berperan dalam
kehidupan ekonomi tidak dapat terlepas dari kehidupan ekonomi itu sendiri.
Keberadaan perbankan diperlukan untuk menunjang kelangsungan kegiatan ekonomi
khususnya kegiatan yang bersifat transaksi pemberian kredit untuk sektor industri.
Sebaliknya kegiatan operasional perbankan dipengaruhi pula oleh maju mundurnya
suatu kegiatan ekonomi, misalnya sektor industri.
Fungsi utama
perbankan adalah menghimpun dana dari masyarakat dan penyalur dana masyarakat.
Akan tetapi sektor perbankan dalam partisipasinya memberikan pembiayaan
pembangunan tetap harus memperhatikan prinsip kehati-hatian, antara lain feasibility
study, viability, serta profitability atas dasar repayment
capacity. Tujuannya adalah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Pembiayaan
proyek yang berwawasan lingkungan telah terbukti dapat meningkatkan daya saing
dan memberi keunggulan tersendiri bagi bank-bank yang menerapkannya sebagai
strategi bisnis. Dengan demikian, perbankan diharapkan dapat meningkatkan peran
dan perhatian terhadap pembiayaan kepada proyek-proyek yang mempunyai perhatian
terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup.
Usaha
perbankan sesungguhnya tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan lingkungan,
namun demikian Bank Indonesia dengan berbagai ketentuan dan peraturan yang
dikeluarkannya, dapat mendorong peningkatan peran perbankan dalam meningkatkan kualitas
pengelolaan lingkungan hidup.
Apabila industri
yang dibiayai oleh bank berjalan baik dan tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan, maka hasil pendapatan bunga dari kredit yang diberikan
dapat berjalan sesuai dengan
cash flow bank tersebut. Demikian pula
return
capacity dari kredit yang diberikan pada industri tersebut dapat dijamin
kolektibilitasnya. Jika semua sektor industri yang dibiayai bank tidak memiliki
dampak negatif yang berarti maka dapat diharapkan pembiayaan bank pada sektor
industri akan meningkat pula. Hal ini menunjukkan bahwa operasional perbankan
sangat terpengaruh oleh perkembangan sektor yang dibiayai.
Ada beberapa
ketentuan dalam UUPPLH yang dapat dijadikan landasan bagi peran dan tanggung
jawab bank dalam pelaksanaan green banking dalam hukum perkreditan di
Indonesia, antara lain Pasal 22, Pasal 36, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, dan
Pasal 68. Disamping itu pula dapat diambil kebijakan dari pemerintah dalam
bidang perbankan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan
lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan, antara lain
dari UU Perbankan pada Penjelasan Umum Angka 5 Pasal 8 ayat (1). Sikap tanggap
perbankan Indonesia tersebut ditujukan pada pembangunan berwawasan lingkungan
sebagaimana diatur dalam UUPPLH sehingga peran dan tanggung jawab bank dalam
penegakan hukum lingkungan menjadi jelas.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas maka peran dan tanggung jawab perbankan dalam
pelaksanaan hukum perkreditan berwawasan lingkungan, bank perlu melakukan
antisipasi terhadap potensi pencemaran dalam kegiatan usaha calon nasabah
debitur, setidak-tidaknya karena tiga hal, yaitu sebagai pemegang kredit, ikut
dalam manajemen dan demi keamanan atau kelancaran pembayaran kredit itu
sendiri. Bank Indonesia (BI) berada pada posisi yang sangat penting dalam
memberikan pedoman bagi bank-bank pembangunan dan lembaga keuangan bukan bank
untuk mendorong bahkan mewajibkan bank-bank memberikan pedoman sangat penting
karena lembaga perbankan menempati posisi yang strategis dalam “memaksa”
kalangan usaha peduli pada aspek perlindungan daya dukung lingkungan,
keselamatan, serta kesejahteraan orang banyak.
Pencantuman
klausul-klausul lingkungan hidup bukan saja dimaksudkan sebagai pelaksana
kewajiban peran serta bank dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana
dituntut oleh Pasal 67 UUPPLH, tetapi juga untuk melindungi dirinya atau
kreditnya sehubungan dengan sanksi yang ditetapkan oleh Pasal 84 sampai dengan
Pasal 120 UUPPLH.
Bank akan
menderita kerugian berkenaan dengan kredit yang diberikannya bila debitur lalai
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Resiko kerugian tersebut dapat
ditekan, apabila bank sebelum dan selama perjanjian kredit berlangsung
mengambil langkah-langkah pencegahan dengan melakukan pemeriksaan pendahuluan,
melakukan audit lingkungan dan mencantumkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh debitur dalam hubungannya dengan perlindungan lingkungan hidup dalam
perjanjian kredit dan dokumen-dokumen lainnya. Dengan demikian penegakan hukum
lingkungan oleh bank melalui pelaksanaan audit lingkungan sangat penting untuk
dilaksanakan demi keamanan kredit itu sendiri.
B. Pengaturan
Konsep Pemberian Kredit Perbankan yang berwawasan lingkungan
1.
Pengertian
Konsep pemberian kredit maupun pembiayaan
berdasarkan prinsip Syariah oleh kalangan perbankan yang berwawasan lingkungan
(green banking) telah dicanangkan
pada tahun 1998 dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian
dilanjutkan oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Prinsip kehati-hatian harus dipegang
teguh sedangkan ketentuan mengenai usaha bank perlu disempurnakan terutama yang
berkaitan dengan penyaluran dana, termasuk di dalamnya peningkatan peranan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar dan
atau berisiko tinggi (Penjelasan Umum UUP).
Menurut Pasal 8 ayat (1) UUP
ditegaskan sebagai berikut :
“Dalam memberikan kredit
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai
keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”
Kemudian di dalam Penjelasan
Pasal 8 ayat (1)UUP dijabarkan lagi bahwa :
“Kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko,
sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko
tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk
melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting
yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum
memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari nasabah debitur. Mengingat
bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila
berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan
nasabah debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang,
proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah
yang kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat
digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang
tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan
agunan tambahan. Di samping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau risiko
tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.”
Pengaturan hukum mengenai kebijakan
pemberian kredit dan pembiayaan perbankan yang berwawasan lingkungan (green banking) yang tercantum dalam UUP
maupun UUPS menurut penulis adalah aturan yang abstrak, karena tidak secara
tegas kebijakan tersebut dituangkan dalam bunyi pasal-pasal dalam UPP dan UUPS.
Pembuat UUP dan UUPS hanya sekedar menghimbau kepada industri Perbankan agar
memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan
yang berskala besar dan atau risiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap
menjaga kelestarian lingkungan.
Menurut hemat penulis, pengaturan hukum
dan kebijakan hukum lingkungan terhadap kegiatan pemberian kredit dan
pembiayaan perbankan yang berwawasan lingkungan (
green banking) diawali pada bentuk hukum
pendirian
Bank Umum maupun Bank Syariah/Unit Usaha Syariah.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), bentuk hukum suatu Bank Umum
menurut UUP dapat berupa antara lain Perseroan Terbatas (PT), begitu pula
bentuk hukum Bank Syariah/Unit Usaha Syariah menurut UUPS adalah perseroan
terbatas. Maka dengan demikian, baik Bank Umum dan Bank Syariah/UUS harus
tunduk pada ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas (“UUPT)”.
Dalam ketentuan Pasal 74 UUPT telah ditegaskan
bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility). Ketentuan ini bertujuan untuk
tetapkan menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai
dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Berkaitan dengan Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan (Corporate Social
Responsibility) tersebut, maka timbul pertanyaan bagi kita “Apakah Bank
Umum maupun Bank Syariah juga diwajibkan melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan (Corporate Social
Responsibility).” ?
Di dalam Penjelasan Pasal 74 UUPT
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah Perseroan yang tidak
mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya
berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
Memang Bank Umum dan Bank Syariah adalah
Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi
kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Sebagai
contoh Bank Umum atau Bank Syariah memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah kepada Nasabah Debitur yang melakukan kegiatan
dan/atau usahanya yang berskala besar dan atau risiko tinggi, seperti
perkebunan dan pabrik kelapa sawit, tambang, pembangkit tenaga listrik dan lain
sebagainya. Maka dalam hal ini Bank Umum atau Bank Syariah juga diwajibkan
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility).
Selanjutnya beberapa ketentuan dalam
UUPPLH yang dapat dijadikan landasan bagi peran dan tanggung jawab bank dalam
pelaksanaan green banking dalam hukum
perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah di Indonesia, antara
lain Pasal 22, Pasal 36, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68.
Untuk
membahas suatu masalah mengenai berlakunya hukum, terdapat asas hukum antara
lain:
·
Lex Superiori
derogate lex inferiori (peraturan hukum yang lebih tinggi dapat
menyimpangi yang lebih rendah).
·
Lex posteriori
derogate lex apriori (peraturan hukum yang kemudian dapat menyimpangi
yang terdahulu).
·
Lex specialis
derogate lex generalis (peraturan hukum yang khusus dapat menyimpangi yang
umum).
·
Bahwa tidak ada peraturan hukum yang berdiri
sendiri, melainkan keterkaitan dengan peraturan hukum lainnya.
·
Setiap hubungan hukum mempunyai dua segi, pada satu
pihak merupakan hak, dan pada pihak lainnya merupakan kewajiban.
Dengan
demikian jika membahas suatu masalah
mengenai berlakunya hukum dalam hal ini kegiatan pemberian kredit perbankan
yang berwawasan lingkungan, tentunya tidak terlepas dari asas hukum yang
menyebutkan : “bahwa tidak ada peraturan hukum yang berdiri sendiri, melainkan
keterkaitan dengan peraturan hukum lainnya”.
Mengingat
dalam pemberian kredit perbankan yang berwawasan lingkungan ini objeknya adalah
berupa utang yang diberikan kepada perusahaan debitur, maka “tindakan hukum” di atas sangat erat
kaitannya dengan lembaga “perikatan”
sebagaimana dimaksud dalam Buku III KUH.Perdata dan Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan serta Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
2. Konsep Hukum
Konsep-konsep hukum pada mulanya hanya
mengatur tentang bagaimana manusia mendapatkan landasan hak untuk dapat
menguasai suatu hak kebendaan yang berhubungan erat dengan sumber-sumber daya
alam. Dalam perkembangannya konsep hukum telah memuat pula asas-asas atau
dasar-dasar filosofi tentang bagaimana sumber daya alam dan sumber daya buatan
(sebagai unsur yang sangat penting dalam menjaga kelestarian dan daya
dukung/manfaat lingkungan tersebut) dapat dimanfaatkan oleh manusia secara
bertanggung jawab, tetapi bagaimana tingkat kelestarian dan manfaat lingkungan
tersebut masih dapat dinikmati oleh generasi-generasi yang akan datang (”generation unborn”).
Gerakan kesadaran lingkungan telah mampu
meyakinkan para politisi dan pengambil keputusan tentang pentingnya masalah
lingkungan terintegrasi dalam konsep-konsep pembangunan.
Komitmen mewujudkan pembangunan yang
berwawasan lingkungan pun menjadi titik tolak atau orientasi pembangunan
nasional pasca konferensi Stockholm 1972. Prinsip-prinsip pengelolaan
lingkungan berdasarkan Deklarasi Stockholm 1972 diaktualisasikan ke dalam
perundang-undangan nasional (UULH-82) dan disempurnakan pada tahun 1997
(UUPLH-97) berdasarkan perkembangan baru dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992.
Deklarasi yang menyoroti aspek lingkungan dan pembangunan itu merupakan
refleksi dari komitmen terhadap berbagai prinsip yang menunjang konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).
Menurut
Daud Silalahi, pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) merupakan konsep baru yang terkait dengan konsep pembangunan.
Arti keterkaitan ini dapat dihubungkan dengan masalah efisiensi dan keadilan.
Melakukan Efisiensi untuk memperbesar kue pembangunan dan keadilan (equity) untuk pembagian yang layak dan
menjaga keberlanjutan pemanfaatannya.
Konsep-konsep hukum baru yang dikandung dalam konsep-konsep di atas
telah mencoba mengharmonisasikan antara kedua kepentingan yang satu dengan
lainnya yang saling mempengaruhi, yakni antara eksploitasi dan konservasi,
antara eksplorasi dan pelestarian, antara ”development”
dan ”conservation” dan antara
pemanfaatan dan pengelolaan, sebagai pasangan nilai-nilai suatu sistem
pengelolaan yang harus dibakukan dalam setiap produk hukum yang mengaturnya.
Selanjutnya
muncul pula istilah-istilah tentang perusakan dan pencemaran lingkungan, yang
kemudian diatur oleh peraturan-peraturan hukum tentang cara pencegahan dan
penanggulangannya. Di negara-negara yang telah maju seperti di negara di Eropa,
Amerika dan Kanada, hal-hal semacam itu telah membudaya dalam kehidupan
sehari-hari. Peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang pemanfaatan
sumber-sumber daya alam telah memuat unsur-unsur dan kaidah-kaidah hukum
tentang pencegahan dan penanggulangan terhadap pencemaran dan kerusakan
lingkungan. Pemuatan konsep-konsep ekologi ke dalam konsep hukum dimaksudkan
untuk menjaga tingkat keberlanjutan fungsi alam bagi kehidupan manusia, baik
generasi yang sekarang maupun yang akan datang.
Konsep
Green Banking sebenarnya bukan
seluruhnya hal yang baru. Sering orang memperkirakan apakah konsekuensi
tindakan yang akan dilakukannya, dan memikirkan tindak lanjut apa yang
diperlukan untuk memperbesar atau memperkecil konsekuensi tindakannya itu.
Konsep Green Banking mempelajari dampak pembangunan terhadap lingkungan dan
dampak lingkungan terhadap pembangunan yang didasarkan pada konsep ekologi.
Ilmu ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik atau
interaksi antara pembangunan dan lingkungan.
C. Tantangan dan Hambatan Perbankan di Kota Medan Dalam Penerapan Konsep Pemberian Kredit Perbankan
yang berwawasan lingkungan
Pengembangkan energi ramah lingkungan (green energy) di Indonesia semakin
meningkat akhir-akhir ini, tetapi untuk memperoleh sumber pembiayaan yang
diperlukan oleh proyek-proyek energi bersih tsb masih dihadapkan pada berbagai
kendala. Kebanyakan lembaga keuangan reguler masih meragukan kelayakan
proyek-proyek semacam itu, dan masalah perlindungan lingkungan masih belum
menjadi bahan pertimbangan penting bagi perbankan dalam menilai kelayakan
sebuah proyek. Tetapi Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral saat ini sedang
mempersiapkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk mendorong
perbankan nasional memberi porsi lebih besar kepada proyek-proyek berteknologi
hijau dalam portofolio kredit mereka, dan meminta perbankan untuk lebih
memperhatikan isu-isu lingkungan dalam proses analisis kredit mereka.
Menurut
Edi Setiawan,
Asisten Direktur dan Periset Senior pada Bagian Riset dan Regulasi Bank di
BI, instansinya sudah sejak lebih dari lima tahun terakhir ini
mempertimbangkan perlunya sektor finansial untuk terlibat dalam usaha-usaha
perlindungan lingkungan. Berdasarkan Nota Kesepahaman yang dibuat dengan
Kementrian Lingkungan Hidup pada tahun 2006, BI menghimbau lembaga perbankan
untuk meminta klien mereka melakukan ‘studi lingkungan’ sebelum mengajukan
kredit bagi proyek-proyek yang dianggap berpotensi menghadapi masalah yang
berkaitan dengan lingkungan.
Namun
pada prakteknya, mayoritas bank tidak memperlakukan isu-isu lingkungan sebagai
prioritas yang perlu diperhatikan. Meskipun mereka memasukkan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai salah satu faktor yang diperlukan dalam
prosedur pengevaluasian kelayakan kredit (credit
compliance), isu lingkungan tetap belum dianggap sebagai faktor yang
menentukan dalam proses analisa kredit. Setiawan mengakui bahwa isu tersebut
memang pada dasarnya bukan merupakan perhatian utama bagi BI dalam menjalankan
operasinya. Bahkan menurut dia, Bank Sentral di negara-negara maju seperti Uni
Eropa biasanya tidak terlibat sama sekali dalam masalah-masalah lingkungan.
Masalah pemeliharaaan lingkungan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah
negara-negara tersebut dan untuk itu pemerintah membangun sistem yang mendukung
gagasan-gagasan dan usaha-usaha yang bertujuan melindungi dan memelihara
lingkungan, yang dalam pelaksanaannya melibatkan seluruh komunitas termasuk
lembaga-lembaga keuangan.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
UU No. 32/2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang
antara lain mengatur kewajiban bagi industri untuk melindungi alam dan lingkungan.
Untuk itu, sejak tahun 2010, BI telah mendorong bank-bank komersial untuk
memasukkan isu lingkungan ke dalam praktek pengelolaan resiko mereka. Para
eksekutif bank diwajibkan untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap resiko
kemungkinan terjadinya masalah lingkungan pada proyek yang dibiayainya yang
mungkin berdampak negatif pada reputasi bank yang bersangkutan. Masalah
lingkungan yang menimpa sebuah proyek yang dibiayai oleh sebuah bank
dapat berpotensi mengganggu keselamatan bank itu sendiri. Bank yang
terjerat di dalam proses pengadilan mengenai masalah lingkungan tak bisa
terjebak dalam perkara-perkara hukum yang rumit dan menguras banyak
tenaga dan biaya dalam menghadapi otoritas pemerintah atau organisasi
perlindungan alam. Jika bank dikalahkan dalam perkara semacam itu, reputasi
bank yang bersangkutan akan menjadi taruhan.
Selama dua tahun terakhir ini BI berfokus
pada usaha untuk mendorong bank komersial agar berkomitmen untuk lebih menaruh
perhatian pada masalah lingkungan dalam proses analisis kredit. Dalam kaitan
itu Setiawan beserta timnya telah menyelenggarakan sejumlah lokakarya dan
program-program pelatihan bagi para eksekutif menengah perbankan untuk
meningkatkan kesadaran mereka mengenai isu-isu lingkungan hidup.
Lembaga dunia seperti UNEP, UNESCO, dan
International Finance Corporation (IFC) salah satu anak perusahaan Worldbank,
sudah beberapa tahun ini mengembangkan program pelatihan on-line
tentang berbagai aspek green financing. BI memanfaatkan bantuan dari
lembaga-lembaga tersebut untuk melaksanakan program-program pelatihan off-line
bagi para eksekutif perbankan khususnya yang terlibat dalam pengelolaan resiko
kredit dan kepatuhan (compliance).
Program tersebut juga memasukkan topik-topik seperti pengenalan terhadap
isu-isu pemanfaatan energi terbarukan dan efisiensi energi.
Menurut Setiawan, kebanyakan dari para
peserta pelatihan, yang berasal dari 120 bank komersial lokal, menyambut baik
rencana BI untuk mengeluarkan regulasi menyangkut isu lingkungan yang harus
dipatuhi oleh sektor perbankan.
“Mereka
mulai menyadari bahwa menaruh perhatian serius pada resiko perlindungan alam
merupakan bagian kepentingan bisnis mereka sendiri.”
Pelatihan juga berisikan tentang
praktek-praktek terbaik yang sudah berhasil dilaksanakan oleh industri
perbankan internasional yang mendukung pengembangan teknologi hijau. “Kami
mencoba untuk menyampaikan pesan ini kepada industri perbankan lokal bahwa
Indonesia dan ASEAN mempunyai prospek dan peluang sangat besar dalam ‘bisnis
hijau’. Jika mereka (bank lokal) tidak menangkap peluang-peluang itu,
maka bank asing–lah yang akan mengambilnya, terutama di saat ASEAN Free Trade
(AFTA) mulai beroperasi di tahun 2015 mendatang.”
Sebenarnya dalam urusan perlindungan
lingkungan yang melibatkan perbankan, Indonesia tidak begitu tertinggal jauh
dari negara-negara tetangga di Asia. Beberapa bank besar seperti BNI dengan
program BNI Go Green,
Mandiri, dan beberapa bank swasta termasuk bank asing dalam praktek telah mulai
memperlakukan isu lingkungan dengan serius, namun sayangnya belum semua bank
melakukan hal yang sama. Filipina adalah salah satu negara yang cukup aktif
mempersiapkan sektor keuangannya untuk membantu negara itu bergerak menuju
pelaksanaan konsep ekonomi hijau.
Pada umumnya bank bersikap konservatif
dalam memilih bisnis atau proyek yang akan melibatkan mereka, dan dalam hal ini
biasanya mereka akan memilih untuk tetap berada dalam wilayah dimana mereka
merasa nyaman (comfort zone), seperti bisnis beresiko terendah,
rendemen besar, payback cepat, dan adanya jaminan yang cukup.
Selanjutnya menurut Setiawan, BI akan
menunggu sementara waktu sebelum mengeluarkan kebijakan semacam itu, karena
saat ini BI sedang fokus pada pelaksanaan operasional dari Otoritas Jasa
Keuangan/OJK, sebuah badan khusus yang belum lama ini dibentuk oleh pemerintah
di sektor finansial. OJK mempunyai tugas untuk mengatur sektor keuangan dengan
lebih efektif dan akan mulai beroperasi pada Januari, 2013 mendatang. OJK akan
dipimpin oleh Muliaman D. Hadad, mantan Deputi Gubernur BI
yang dikenal sangat mendukung praktek green banking.
Kebijakan-kebijakan baru yang mengarah pada green banking diharapkan
akan dikeluarkan oleh OJK yang mempunyai otoritas regulasi penuh di sektor
perbankan Indonesia.
Selanjutnya disebut UULH, UUPLH, UUPPLH.
George A. Nations III, “Minimizing Risk of Loss from Environmental Laws”, dikutip dari : Erman Rajagukguk, Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, (Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), hal. 318.
H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Bankers Book, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 154.
Burhanudin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia, Peran Serta dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Meningkat, Siaran Pers Bersama Bank Indonesia dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 8 September 2004.
Nabiel Makarim, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Peran Serta dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Meningkat, Siaran Pers Bersama Bank Indonesia dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 8 September 2004
DAFTAR
PUSTAKA
Buku :
Situs Internet :
http://www.bni.co.id/id-id/tentangkami/corporatesocialresponsibility/bnigogreen.aspx